Tampilkan Kucing Berbahasa Manusia yang Berkuasa
Hiroshi Koike adalah orang di balik pentas teater bergenre tragikomedi itu. Koike yang merupakan penulis, sutradara, sekaligus koreografer ternama Jepang menafsirkan novel yang ditulis di akhir abad ke-19 dengan cerdas.
"Melalui teater ini kami mengajukan pertanyaan tentang apa itu manusia, dan bagaimana seharusnya kita menjalin hubungan dengan alam," ungkapnya seusai pementasan.
Penafsiran Koike memilih untuk menggeser fokus cerita kepada seekor kucing liar raksasa yang menjadi penguasa restoran. Hal itu agak berbeda dengan cerita asli novel yang berfokus pada dua pemburu yang tersesat di rimba karena badai, kemudian menemukan sebuah restoran di tengah hutan.
Menurut Koike, penafsirannya ini menggambarkan bahwa pada suatu masa ada saat binatang lebih berkuasa ketimbang manusia. Dan, manusia akan menjadi bulan-bulanan binatang.
Dalam pementasan sekitar 120 menit itu ditunjukkan bahwa restoran yang menjanjikan kemewahan dan kenikmatan itu justru yang memangsa manusia. Manusia digambarkan terlena pada sisi-sisi duniawi, menenggelamkan mereka pada sebuah egoisme, pertengkaran, dan akhirnya membawa pada pembunuhan satu sama lain.
Koike mengaku, interpretasi novel Kenji Miyazawa tersebut diilhami oleh kritik sosial terhadap tragedi nuklir Fukushima. Masih lekat di benak masyarakat Jepang tentang ledakan reaktor nuklir Fukushima pada Maret 2011. Keadaan di Jepang tak juga membaik. Bahkan, mereka hidup di bawah ancaman skala radiasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima yang bergerak ke level 7.
Koike mengatakan, penafsiran yang dia lakukan tiga bulan pasca terjadinya gempa bumi di Jepang bagian timur itu membuat dia jadi paham maksud novel tersebut. Bahwa ada hubungan yang sangat dalam antara manusia dan alamnya.
"Saat itu alam mengambil keindahan Jepang hanya dalam sekejap dan menelan banyak warga. Itu (bencana) adalah buah dari pengetahuan manusia pula," jelas pria 57 tahun itu.