Targetkan RUU Migas Selesai Sebelum Habis Masa Jabatan DPR 2014-2019
jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Totok Daryanto menargetkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi tidak boleh molor lagi.
Dia berharap pembahasan RUU Migas kelar pada periode masa jabatan legislatif tahun 2019.
Hal ini diungkapkan setelah rapat bersama pengusul undang-undang yakni Komisi VII DPR RI. Rapat antara Badan Lagislasi dan Komisi VII DPR RI ini guna mencari titik temu untuk mengharmonisasikan RUU ini dengan aturan yang sudah berlaku.
"Intinya bahwa Undang-Undang Migas ini harus selesai pada periode ini. Ini jelas. Ini harus menjadi komitmen kita, karena ini di periode lalu sudah pernah dimunculkan tapi tidak selesai," papar Totok di ruang rapat Baleg, Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (5/6/2017) sore.
Rapat yang dipimpin Totok ini juga dihadiri segenap jajaran pimpinan Komisi VII DPR, yakni Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu, serta para Wakil Ketua Mulyadi, Satya Widya Yudha, dan juga dihadiri beberapa anggota Komisi VII lainnya.
Yang menjadi perhatian bersama Baleg dan Komisi VII adalah, RUU Migas yang sedang dibahas jangan sampai menimbulkan masalah baru.
Jangan sampai UU ini setelah disahkan oleh DPR dan pemerintah malah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Saat rapat kedua belah pihak menyoroti tentang perlu tidaknya pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) yang bertugas menjaga kedaulatan migas.
Namun menurut Totok, BUK dalam RUU ini memiliki definisi yang rancu dengan RUU BUMN yang sedang digarap Komisi VI.
Di satu sisi ada yang mengharapkan BUK di bawah kendali Kementerian BUMN, namun di lain pihak ada yang berharap BUK bersifat lex specialis di luar dari kewenangan BUMN.
"Untuk menjaga kedaulatan migas kita dibentuk BUK, Badan Usaha Khusus dimana itu punya definisi yang rancu dengan BUMN. Yang juga menjadi RUU inisitif Komisi VI. BUK itu kan Badan Usaha Khusus yang tidak dibawah menteri BUMN. Sementara seluruh badan usaha negara harus dibawah Menteri BUMN. Itu bisa juga kalau pemerintah setuju, karena kita pernah punya Pertamina dulu itu lex specialis, tidak sama dengan BUMN lain. Tergantung kesepakatan DPR dengan Pemerintah, jadi nanti ada komunikasi dengan pemerintah," jelas Totok. (adv/jpnn)