Tarif Listrik Dinaikkan, Pemerintah Hemat Rp 22 Triliun
Di sisi lain, pelaku industri tekstil dan garmen mengeluhkan tarif listrik yang dinilai tinggi dan pembatasan produk impor.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyatakan, industri tekstil bisa tumbuh signifikan tahun ini. Namun, dukungan pemerintah perlu terus diberikan untuk mendorong daya saing industri tersebut.
Menurut Ade, industri tekstil dan garmen saat ini sulit bersaing di pasar global. ”Kepedulian pemerintah pada sektor manufaktur sangat diperlukan. Kemarin sempat mencanangkan penurunan harga listrik bagi industri ini, tapi belum jalan. Padahal, untuk industri tekstil, 18–25 persen energi yang digunakan berasal dari listrik,” ungkapnya.
Selain permasalahan tarif listrik, masalah pembatasan impor tekstil disoroti para pelaku usaha. Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta menyinggung tentang kepastian pembatasan impor tekstil.
”Impor seharusnya dibatasi untuk produsen yang mengekspor seluruh produknya,” terangnya.
Redma menyebutkan, sepanjang 2016, jumlah kain impor di Indonesia tercatat hampir 700.000 ton. Sedangkan industri hulu tekstil mengekspor kain 500.000 ton. ”Jadi, bisa dipastikan banyak sekali produk impor yang masuk ke pasar lokal,” ujarnya.
Namun, capaian ekspor garmen Indonesia pada kuartal satu tahun memberikan sedikit angin segar bagi pelaku industri. ”Naik sekitar 3,8% atau hampir USD 4 miliar,” katanya.
Ade memprediksi, jumlah tersebut akan terus meningkat seiring bertumbuhnya industri garmen dan tekstil. Khususnya pabrikan di daerah Jawa Tengah yang memang menjadi daerah utama produksi pakaian jadi.