Tentara Tegar itu Langsung Lunglai saat Menatap Jenazah Dua Putri Cantiknya
TRAGEDI Hercules C-130 di Jalan Jamin Ginting, Medan, Sumatera Utara (Sumut), Selasa (30/6), menelan banyak korban jiwa. Di antara mereka, ada yang berstatus kakak beradik atau ibu dan anak. Seperti yang dialami keluarga Serda Sahata Sihombing yang kehilangan dua buah hatinya.
----------------
MIFTAKHUL FAHAMSYAH, Medan
---------------
SEBAGAI anggota TNI, Sersan Dua (Serda) Sahata Sihombing berusaha tegar menghadapi cobaan yang menimpa keluarganya. Langkahnya masih tegap saat menuju ruang jenazah Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Adam Malik Medan kemarin siang (1/7).
Dia seperti tidak menghiraukan kondisi sekeliling yang hiruk pikuk. Sahata tetap melangkah ke tempat identifikasi jenazah korban pesawat Hercules C-130 itu.
Tapi, setegar-setegarnya seorang tentara, tetap saja Sahata tak kuat menahan haru begitu melihat deretan jenazah yang terbujur kaku di ruangan itu. Tangisnya langsung tumpah ketika pandangan matanya tertumbuk pada dua jenazah buah hatinya: Ester Yosephine Sihombing, 18, dan Rita Yunita Sihombing, 14. Tubuh pria 48 tahun tersebut langsung lunglai.
"Dua anak saya telah pergi...," ujarnya lirih. Kali ini disertai tangis yang semakin menjadi. Tentara yang bertugas sebagai badan pembina desa (babinsa) di wilayah Natuna, Kepulauan Riau (Kepri), itu tak kuat berdiri lagi.
Dia lalu terduduk di kursi tak jauh dari deretan peti-peti jenazah yang sudah teridentifikasi. "Ester sama Rita meninggal," ucapnya sambil sesenggukan di pelukan sanak keluarga yang mencoba menenangkan.
Setelah tangisnya mereda, bapak empat anak tersebut mengisahkan saat-saat sebelum dua anaknya itu pergi untuk selama-lamanya. Beberapa hari sebelum memutuskan pulang ke Natuna, Ester dan Rita menelepon ayahnya. Anak pertama dan ketiga Sahata itu mengabarkan bahwa mereka ingin pulang karena sekolah sedang libur."
Ester baru saja naik kelas XII SMA Santo Ignatius Medan. Sedangkan adiknya, Rita, duduk di kelas II SMP Santo Ignatius Medan. "Saya dan ibunya (Dewi Juliana Situmeang) sempat melarang mereka pulang. Sebab, kami baru saja bertemu dan pada awal bulan 7 (Juli) ibunya juga akan ke Medan," jelas dia.
Tapi, larangan dan penjelasan tersebut tidak diindahkan Ester dan Rita. Keduanya memaksa untuk pulang. Apalagi, ada pesawat Hercules yang terbang ke Natuna. Sahata pun luluh. Pria yang sudah tujuh tahun berdinas di Natuna itu lalu menguruskan surat keterangan untuk kepulangan anaknya menggunakan pesawat milik TNI-AU tersebut.
Dengan surat keterangan anak tentara itu, Ester dan Rita seharusnya bisa mendapat biaya yang lebih murah. "Tetapi, ternyata anak saya disamakan dengan warga sipil (yang ikut dalam penerbangan Hercules itu, Red) dan harus membayar Rp 750 ribu per orang," ucapnya dengan nada kesal.
Sesuai jadwal keberangkatan, Ester dan Rita pun akhirnya terbang dengan pesawat Hercules tua dari Lanud Suwondo, Medan. "Bila pulang, mereka memang kadang naik Hercules, kadang naik pesawat komersial," imbuhnya.
Rupanya, penerbangan Selasa siang itu benar-benar membuat Ester dan Rita pulang untuk selama-lamanya. Namun bukan ke rumah orang tuanya, melainkan kembali ke Sang Pencipta.
Maka, hati Sahata dan keluarga hancur berkeping-keping begitu mendengar kabar jatuhnya pesawat Hercules yang ditumpangi kedua buah hatinya. Lebih-lebih dikabarkan, pesawat terbakar dan tidak ada penumpang yang selamat."
Sebenarnya Sahata berusaha tegar. Apalagi, dengan statusnya sebagai tentara dan kepala keluarga, dia justru ingin menenangkan hati keluarganya. Karena itu, Sahata lalu mengajak anggota keluarganya terbang ke Medan untuk menjemput jenazah kedua anaknya di rumah sakit. Tapi, ketegarannya runtuh saat sudah berada di ruang jenazah RSUP Adam Malik. "Ini kedua anak saya. Ini foto saat mereka bertemu kami terakhir kalinya," ujar dia.
Dalam foto tersebut kedua buah hati Sahata mengenakan pakaian adat Batak. Foto itu diambil dalam acara pernikahan paman mereka, Nayan Situmeang, di Medan pada 23 Mei lalu. Seusai pesta itu, esok harinya Sahata dan sang istri kembali ke Natuna.
Sedangkan Ester dan Rita tetap tinggal di Medan karena harus bersekolah. "Mereka adalah harapan kami dan ternyata mereka pergi lebih dulu sebelum lulus sekolah," ujar Sahata. (ain/c9/ari)