Terpaksa Bergaya Preman Hadapi Siswa Nakal
Saat dia berhasil menyelesaikan studinya dan dikukuhkan sebagai doktor di Unair pada 18 Januari 2012, kenakalan di SDN 68 ikut berkurang. Dia menulis disertasi berdasar pengalamannya sebagai kepala sekolah. Baik di SDN 42 maupun SDN 68 Pontianak.
Fauziah, rupanya, belum puas dengan capaiannya selama ini. Dia masih ingin meraih gelar pendidikan lainnya yang lebih tinggi. Sambil guyon, guru dengan pangkat pembina utama muda atau IV-c itu berkata, kalau ada guru besar untuk pendidikan dasar, dia akan berjuang mendapatkannya. ’’Kalau ada, lho ya,’’ katanya, lantas terbahak.
Tapi, kisah heroik yang dialami Fauziah di SDN 68 Pontianak Barat, tampaknya, telah menjadi kenangan. Sebab, sejak 3 Februari 2014 dia tidak menjadi kepala di SDN itu lagi. Dia dipindah ke sekolah lain, yakni SDN 24 Pontianak. Di tempatnya yang baru, Fauziah tidak menjadi kepala sekolah, melainkan menjadi guru biasa. Meski demikian, itu tidak meruntuhkan niat Fauziah untuk memperbaiki kualitas anak didik usia SD.
Ada alasan tersendiri kenapa Fauziah mau menuntut ilmu hingga S-3 meski hanya berkutat di pendidikan dasar. Bagi dia, sekolah memberikan banyak tantangan. Dia mengibaratkan anak SD sebagai fondasi sebuah rumah. Jika sejak awal sudah rapuh, bangunan itu tidak layak untuk dibangun lebih tinggi.
’’Begitu juga dengan anak SD, mereka butuh fondasi kuat sebelum masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi,’’ terangnya.
Meski sekarang hanya menjadi guru, Fauziah terus menyebarkan pemikiran-pemikirannya. Caranya, memanfaatkan posisinya sebagai staf Pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) Pendidikan Dasar Kemendikbud. Dia jadi sering diundang menjadi narasumber berbagai forum seminar pendidikan.
’’Soal fondasi itu sering saya uraikan. Karena ini seperti kerapuhan sejak sekolah dan akan terus dibawa sepanjang hidup,’’ terangnya. (Dhimas Ginanjar/c5/c10/ari)