Tertawa
Oleh: Dhimam Abror DjuraidMasyarakat pada umumnya juga tidak memahami esensi persoalan, hanya terpaku pada fenomena permukaan. Hal ini terjadi karena kepedulian politik yang makin rendah, karena dunia politik dianggap tidak berkenaan langsung dengan mereka karena terlalu banyaknya manipulasi.
Selain itu post-democracy ditandai dengan hilangnya penghormatan terhadap institusi, proses, dan nilai demokrasi. Pengelolaan partai menjadi jauh dari hakikat demokrasi.
Lembaga-lembaga negara telah menjadi pelayan oligarki, yang akhirnya berdampak pada rendahnya penghormatan masyarakat kepada mereka.
Hilangnya respek juga tercermin dari terus terjadinya manipulasi, kecurangan, dan pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu, yang berujung pada munculnya pemerintahan yang eksklusif.
Inilah yang menyebabkan secara substansi demokrasi menjadi elitis dan dikuasai oleh kekuatan oligarki. Dalam kondisi demikian, muncullah sebuah demokrasi tanpa demos.
Secara spesifik setidaknya ada beberapa karakteristik demokrasi di Indonesia saat ini yang mencerminkan demokrasi tanpa demos itu. Pelaksanaan checks and balances tidak efektif. Hal ini terlihat dari lemahnya peran partai, DPR, dan lembaga penegak hukum, di hadapan eksekutif.
Sikap kritis civil society pudar. Media, kampus dan akademisi, serta LSM tidak menunjukkan dinamika yang kritis, karena terancam oleh penangkapan dan pemenjaraan. Kepemimpinan nasional tidak membawa pencerahan dan pendewasaan berpolitik.
Para elite juga tidak cukup berhasil dalam memelihara soliditas masyarakat yang masih tetap terpolarisasi dalam menghadapi isu-isu strategis. Persoalan SARA terutama penghinaan dan penistaan agama muncul hampir setiap hari.
Sesuatu yang dahulu dianggap sebagai wilayah tabu sekarang menjadi wilayah yang terbuka di ranah publik.