Thailand yang Kembali Diguncang Demo Masal
Undang-Undang Anyar Bebaskan TapolTidak seperti Yingluck, publik Thailand mempunyai penilaian sendiri terhadap pemerintah. Songkran Grachangnetara, misalnya. Pengusaha muda Thailand yang juga lulusan The London School of Economics dan Columbia University tersebut menganggap konflik politik pemerintah sebagai beban rakyat. Sebab, siapa pun yang memenangi perseteruan politik tidak akan memihak rakyat.
"Mereka (pemerintah) menyebut RUU Amnesti sebagai langkah awal rekonsiliasi. Itu bukan rekonsiliasi nasional, tapi rekonsiliasi antara Thaksin Shinawatra dan Abhisit Vejjajiva atau antara Partai Pheu Thai dan Partai Demokrat," ungkap Songkran sebagaimana yang dia tuliskan pada halaman opini harian Bangkok Post awal pekan ini.
Lebih lanjut, dia menyatakan, rekonsiliasi tidak akan pernah terjadi selama para pencari jalan keluarnya adalah para pencetus konflik itu sendiri. Seperti yang terjadi saat ini, kubu Yingluck alias Thaksin berhadapan dengan kubu Abhisit. Sejak lengsernya Thaksin, dua kubu tersebut tidak pernah bisa saling bekerja sama dan selalu saling serang.
"Mereka tidak pernah membahas perdamaian atau kemakmuran rakyat. Mereka hanya mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri. Kita (rakyat) hanya akan selalu celaka," jelasnya. Bagi Partai Pheu Thai, pemilu dan segenap legitimasinya merupakan dalil terpenting pemerintah. Sebab, mereka masih memiliki begitu banyak pendukung dan hampir pasti bakal selalu memenangi pemilu.
Sebaliknya, Partai Demokrat yang dipimpin Abhisit menganggap pemilu hanya pelengkap sistem demokrasi. Bagi mereka, pemilu bukan segala-galanya. Sebab, mereka tidak akan pernah bisa bersaing dengan kubu lawan yang punya banyak basis massa. "Seharusnya, Partai Demokrat lebih gigih mengupayakan kemenangan. Jika itu terjadi, perubahan akan terwujud," ungkapnya. (The Diplomat/Bangkok Post/hep/c14/dos)