Tiongkok \'Kebanjiran\' Perawan Tua
“Orang-orang Tiongkok sering merasa dalam hubungan, laki-laki harus lebih tinggi dalam segala hal, termasuk tinggi badan, usia, pendidikan dan penghasilan,” ujar Ni Lin, yang membawakan acara televisi pencarian jodoh yang populer di Shanghai.
Hal ini menimbulkan fenomena dimana pria kelas A menikahi perempuan kelas B, pria kelas B menikahi perempuan kelas C dan pria kelas C menikahi perempuan kelas D. Hanya perempuan kelas A dan pria kelas D yang tidak dapat menemukan pasangan.”
Di Beijing, lebih dari sepertiga perempuan berusia akhir 20an dan 30an sedang mencari suami, menurut laman pencarian pasangan Jiayuan.com. Laporan-laporan media mengatakan ada sekitar 500.000 “perawan tua” di ibukota.
Penduduk Tiongkok yang berjumlah lima miliar itu, 1,4 miliarnya berjenis kelamin pria. Namun lagi-lagi status sosial dapat berkonspirasi melawan perempuan profesional yang lajang.
Populasi pria di Tiongkok cenderung lebih banyak dibandingkan di banyak negara lain karena kebijakan satu anak dari pemerintah dan preferensi kultural atas laki-laki. Sensus terakhir pada 2011 menunjukkan ada dua kali lebih banyak pria lajang yang lahir pada 1970an dibanding perempuan berusia sama.
Namun tidak seperti “perempuan tua,” para “shengnan” atau “bujang lapuk” ini seringkali hidup di kota-kota kecil dan tidak memiliki banyak uang.
Pemerintah kota Shanghai berusaha membantu perempuan-perempuan seperti Xu dengan mengadakan acara-acara perjodohan secara reguler. Salah satunya pada Mei lalu menarik 20.000 pria dan perempuan lajang.
Lucy Wang, seorang guru bahasa Tiongkok berusia 32 tahun yang mengikuti acara tersebut, mengatakan yang ia temui hanyalah pria mata keranjang atau anak mama.