Tolak Ide Jokowi karena Cak Imin Ngebet jadi Ketum PKB Lagi
JAKARTA - Capres terpilih Joko Widodo yang menginginkan menterinya tidak rangkap jabatan di partai politik terus mendapat apresiasi dari sejumlah pengamat. Pasalnya, wacana itu menjadi pembelajaran politik yang baik, agar menteri dapat lebih konsentrasi untuk urusan rakyat.
Jabatan menteri adalah jabatan politik yang umumnya berasal dari parpol koalisi pendukung pemerintahan. Meski berasal dari parpol, namun konsekuensinya para kader ini harus melepas jabatan politiknya di partanya. Biar rakyat tahu bahwa para menteri lebih konsentrasi untuk mengurusi negara dibanding urusan internal partainya.
“Karena ketika sudah menjadi menteri, berarti sudah menjadi milik bangsa dan bukan lagi milik partai,” kata pengamat dari Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, kepada INDOPOS (Grup JPNN) di Jakarta, kemarin (14/8).
Meski melepas jabatan strukturalnya, namun kader yang ditunjuk oleh partai koalisi adalah kader pilihan dan tetap menjadi anggota partai. Atas dasar itu, kata Ray, adanya tanggapan sebagian masyarakat bahwa akan terjadi deparpolisasi adalah berlebihan.
“Saya pikir wacana menteri tak boleh rangkap jabatan bukan untuk merendahkan partai atau menghilangkan adanya dukungan parpol terhadap pemerintah. Selagi ada kontribusi yang baik dari para menteri ke parpolnya, pasti kabinet Jokowi-JK ini akan tetap didukung, terutama di parlemen,” katanya.
Atas dasar itu, ucap Ray, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mestinya tidak menolak adanya wacana Jokowi itu.
“Presiden dan wakilnya saja bukan elite parpol, kok menterinya tetap mau menjabat ketum ataupun sekjen di kepartaian. Ini kan cukup aneh,” ujarnya.
Jadi, tambah Ray, PKB haruslah ikut dengan wacana ini, dan kalau memang ada sumbangan yang baik terhadap partainya, pasti para menteri utusan partai ini akan tetap dibela. “Intinya, rakyat ingin agar para menteri ini dapat lebih konsentrasi bekerja dan tak memikirkan politik,” kata Ray.
Dia menduga bahwa keengganan PKB menerima wacana menteri lepas jabatan parpol itu didasari keinginan kuat Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang tetap ngotot menjadi ketua umum PKB untuk periode berikutnya pada Muktamar yang akan berlangsung di akir bulan ini. “Penolakan ini kan karena Imin (Muhaimin) masih memiliki nafsu jadi ketum,” tandasnya.
Hal senada diucapkan oleh Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang. Menurutnya, menteri harus terbebas dari jabatan politik karena masa depan bangsa lebih penting dari parpol.
“Jika kebijakan pemerintah baik, kata Salang, pastinya rakyat atau sipil society akan ikut mendukung meski ada halangan dari oposisi,” ucapnya.
Jokowi seharusnya lebih berani merekrut orang-orang dengan berbagai latarbelakang, asal mereka sudah terbukti telah berbuat demi kemajuan rakyat, serta jujur.
"Banyak orang baik itu dari LSM, birokrat, peneliti, kepala daerah atau anggota DPR yang mungkin kurang terekspose serta tidak menduduki jabatan penting, karena mereka memang tidak menjilat elite politik, tidak mau terekspose.Tapi mereka orang baik, orang jujur,” ujarnya.
Jokowi haruss berani menampik pihak-pihak yang mau mendiktekan dia. “Saat ini saya rasa banyak pihak-pihak berkepentingan yang mendekati Jokowi untuk titip dirinya atau titip orangnya," kata Salang.
Jokowi yang telah membuka ruang aspirasi bagi publik untuk memberikan masukan siapa sosok yang pantas duduk di kabinetnya, menurut Salang, adalah sebuah upaya untuk mengimbangi adanya pihak-pihak berkepentingan untuk menitip diri atau menitip orangnya.
"Jokowi juga harus tetap hati-hati. Sekali lagi harus hati-hati. Karena bisa jadi nama-nama yang mendapatkan prosentase perolehan dukungan publiknya besar, memang sengaja merekayasa dengan mengerahkan orang-orang untuk menginput namanya," ujar Salang.
Sementara itu Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan mengkritisisi beberapa nama yang diajukan publik melalui kabinetrakyat.com. Di sana terdapat nama Marie Elka Pangestu dan Sri Adiningsih yang merupakan ekonom yang pro neolib.
Selain kedua itu, nama Rini Soewandi yang saat ini menjabat Kepala Staf Kantor Transisi juga sangat disayangkan. Wanita mantan menteri di era Megawati ini diduga terlibat dalam beberapa perbuatan yang menyebabkan kerugian negara. Salah satunya kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyebabkan negara kecolongan triliunan rupiah.
“Hal ini harus perlu diwaspadai Jokowi. Bila Jokowi tetap mempertahankan nama-nama itu, maka gagasan dirinya untuk mengaplikasikan Tri Sakti Bung Karno hanya tinggal angan-angan belaka,” kata Dani. (dli)