Urgent, RUU Kesejahteraan Sosial
“Jadi, RUU ini bukan sekadar pemberesan masalah sosial kemasyarakatan,” ujar Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Faisal Mahmud saat Sidang Paripurna DPD, Senin (15/9) di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen.
PAH III DPD menyatakan, diperlukan kepastian konsistensi, harmonisasi, dan penjabaran Pasal 34 UUD 1945 yang mengemban prinsip negara kesejahteraan ke dalam norma-norma RUU Kesejahteraan Sosial. Untuk itulah, diperlukan penelaahan yang dalam dan kritis secara yuridis-konstitusio nal, sosio-kultural, dan ekonomi mengenai arah politik hukum RUU tersebut.
Menurut Faisal, PAH III DPD mempertimbangkan integrasi asas-asas kesukarelaan, asas kegotongroyongan, asas akuntabilitas, asas tanggung jawab, dan asas-asas lain yang asli dan tumbuh sebagai kearifan tradisional masyarakat Indonesia. RUU ini harus dilengkapi kualifikasi kelompok masyarakat penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), termasuk pemihakan kepada komunitas adat terpencil serta penghargaan kepada nilai-nilai dan kearifan tradisional.
Ia tegaskan, RUU tersebut juga memperhatikan aspek humanis secara terintegrasi yang diselaraskan dengan UU lain seperti UU Perlindungan Anak, UU Penyandang Cacat, UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Kesehatan, dan UU Sistem Jaminan Sosial. “Bukan perulangan atau pemindahan norma-norma dari peraturan perundang-undangan yang terlebih dahulu dilahirkan.”
PAH III DPD memastikan RUU Kesejahteraan Sosial memuat batasan yang jelas tentang kualifikasi pelayanan, jaminan, bantuan, pemberdayaan, dan perlindungan sosial yang dirumuskan dalam berbagai pasal dan ayatnya, serta memastikan bentuk-bentuk kewajiban negara (state obligation). Juga, memuat tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dan tanggung jawab sosial masyarakat atau lingkungan sebagai pilar penting sistem kesejahteraan sosial. (Fas)