UU Anti-Berita Palsu di Singapura Dianggap Ancam Kebebasan Berbicara
"Pemberlakukan hukuman masih harus berlaku bagi mereka yang terlibat dalam penipuan yang disengaja, menggunakan pemalsuan untuk merusak kepercayaan terhadap struktur dan institusi sosial," tambahnya.
Dampak internasional
Kelompok kebebasan pers dan hak asasi manusia telah mengutuk RUU berita palsu itu.
Aliansi Pers Asia Tenggara mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa ada kemungkinan undang-undang itu akan "diterapkan secara sewenang-wenang dan disalahgunakan oleh mereka yang ditugaskan untuk mengimplementasikannya".
Singapura berada di peringkat 151 dari 180 negara yang masuk dalam Indeks Kebebasan Pers 2019 versi Reporters Without Borders (RSF), di bawah Rusia.
"Dengan bentuk yang ada saat ini, hukum Orwellian ini menetapkan 'klaim kebenaran' yang akan bebas untuk membungkam suara-suara independen dan memaksakan kehendak partai yang berkuasa," kata Daniel Bastard, kepala desk RSF di Asia-Pasifik.
"Kami mengutuk RUU ini dengan argumen sekuat mungkin karena, baik dalam bentuk maupun substansi, itu menimbulkan hambatan yang tak bisa diterima terhadap arus bebas informasi yang diverifikasi secara jurnalistik."
Jeff Paine, direktur pelaksana Koalisi Internet Asia, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa "undang-undang itu memberi Pemerintah Singapura keleluasaan penuh atas apa yang dianggap benar atau salah".