Warga Pemilik Keramba Jaring Apung Siap Alih Profesi
jpnn.com - JAKARTA - Warga masyarakat di sekitar Danau Toba yang memiliki usaha peternakan ikan (fish farming) dengan menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA) siap alih profesi. Hanya saja, mereka harus mendapatkan modal awal untuk usaha baru dari pemerintah, termasuk pendampingan.
Demikian kesimpulan Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT), berdasar hasil perbincangan salah satu aktivisnya, Johannes Silalahi, dengan sejumlah warga pemilik KJA.
Boy Tonggor Siahaan dari YPDT dalam publikasinya menjelaskan, memang warga pemilik KJA dihadapkan pada pilihan sulit, yakni antara mempertahankan mata pencaharian yang menopang hidup keluarga mereka dan melestarikan lingkungan hidup di Danau Toba.
“Mereka mengakui bahwa KJA mencemari lingkungan perairan Danau Toba, tetapi di sisi lain mereka juga mengakui keramba dapat meningkatkan pendapatan dan menampung tenaga kerja,” terang Boy Tonggor, menjelaskan hasil “investigasi Johannes Silalahi.
Dijelaskan, Johannes pada Selasa (26/4) menemui sejumlah warga, antara lain di salah satu lapo di Silalahi Nabolak.
Dari hasil perbincangan disimpulkan juga, pada awal memulai usaha itu, warga belum menyadari kalau KJA dapat mencemari lingkungan perairan Danau Toba.
“Namun ketika mereka sadar sudah makin jelas melihat bahwa KJA memang mencemari Danau Toba, mereka bingung harus bagaimana. Apakah mereka harus meninggalkan usaha KJA tersebut yang jelas-jelas menopang mata pencarian mereka untuk keluarga atau tetap mempertahankan usaha KJA sementara Danau Toba terus-menerus tercemar karena pelet ikan yang berkontribusi besar merusak kejernihan air Danau Toba (aek natio),” bebernya lagi.
Warga, ternyata, juga tidak tahu bahwa ada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Begitu pun tentang aturan sejenis, baik berbentuk Perpres, Pergub, dan Perda Kabupaten).
“Bahkan menurut mereka, petugas kabupaten terkait pun belum pernah melarang usaha keramba. Belum ada sosialisasi untung-rugi keramba,” ujar Boy.