Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Warna Ayu, Kelompok Eks Lokalisasi, Pelopor Batik Jumput Berpewarna Alami

Karena Dagangan di Irak, Iringane Jarak, Tak Lagi Laku

Selasa, 14 Oktober 2014 – 04:04 WIB
Warna Ayu, Kelompok Eks Lokalisasi, Pelopor Batik Jumput Berpewarna Alami - JPNN.COM
KREASI IBU-IBU: Anggota Warna Ayu menunjukkan sebagian karya mereka. Foto: Indiani Kusuma/Jawa Pos

jpnn.com - Batik kian berkembang. Motifnya makin banyak. Kreativitas pembuatnya juga terus meningkat. Tengok saja pengalaman Warna Ayu, komunitas warga eks lokalisasi Dolly-Jarak, yang membuat batik jumput dengan pewarna alami.

Laporan Indiani Kusuma, Surabaya

SETUMPUK kain batik menghiasi ruang pameran yang berukuran 2,5 x 3 meter persegi di Jalan Banyu Urip Kidul, Surabaya. Aroma kayu-kayuan mengharumkan seisi ruangan itu. Batik yang dipajang di tempat tersebut tidak berbentuk kain belaka. Beberapa sudah menjelma menjadi tas, baju, bedcover, pasmina, syal, hingga dompet. Di situlah kelompok Warna Ayu memajang hasil kreasi mereka.

Nama Warna Ayu dipilih bukan tanpa alasan. Ya, kelompok itu memang menggarap karya dengan warna-warna alami. Mulai daun mangga, secang, hingga daun kelengkeng.

Warna Ayu dipandegani lima orang. Mereka adalah Nanik Suharyati, Siti Sulaikah, Susiati, Siti Ma’rifah, dan Sunarsih. Para perempuan itu tinggal di sekitar lokalisasi Dolly-Jarak yang sudah ditutup pada 18 Juni.

Sebelumnya, mereka ikut merasakan ’’nikmatnya’’ geliat lokalisasi tersebut. Bukan, para perempuan tangguh itu bukan germo, apalagi PSK. Susiati, misalnya, adalah pedagang makanan dan minuman ringan. Pelanggannya tentu orang-orang yang hilir mudik di kompleks pelacuran itu. Susi, sapaan Susiati, menyebut dirinya sebagai warga Irak alias iringane Jarak (samping Jarak, Red). Sebagaimana warga Irak lain, keuntungan Susi dengan adanya lokalisasi itu cukup gede.

Tiap bulan warga Kupang Gunung Jaya tersebut meraup keuntungan sekitar Rp 2,5 juta. Setelah lokalisasi itu tutup, perekonomian mereka terganggu. Pelanggan sepi. Perempuan dua anak itu pun gulung tikar dan merambah hal baru. Sebab, penghasilannya turun drastis, tak sampai separo keuntungannya di ’’masa jaya’’.

Susi lantas teringat hal yang pernah dipelajarinya pada 2010. Yakni, membuat batik jumput. Itu adalah istilah peng-Indonesia-an untuk tie dye, teknik mewarnai kain dengan melipat, menggulung, memelintir, lalu mencelupkan kain ke dalam warna-warna. Hasilnya adalah bentuk-bentuk abstrak nan elok. Teknik tie dye tersebut pernah sangat beken pada generasi hippie, sekitar tiga dekade silam.

Menggandeng lima kawannya, sesama warga terdampak penutupan lokalisasi, mereka kembali belajar bareng. Awal belajar itu, Susi dan kawan-kawan memakai pewarna kimia. Tapi, mereka merasa hasilnya kurang maksimal. ’’Perpaduan warnanya jelek dan kurang mantap,’’ ungkap perempuan 50 tahun itu.

Batik kian berkembang. Motifnya makin banyak. Kreativitas pembuatnya juga terus meningkat. Tengok saja pengalaman Warna Ayu, komunitas warga eks

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News