Waspada Munculnya Benih-benih Radikalisme di Tengah Menghadapi Covid-19
jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengaku tergelitik setelah membaca sebuah media di Sikka, NTT, dengan judul "Aparat TNI Polri Dipukul Mundur Umat Muslim di Nangahale".
Menurut Petrus, hal itu diangkat dari sebuah realita dimana puluhan aparat TNI-Polri gagal meminta Umat Muslim Nangahale untuk tidak Salat Berjemaah dan Tarawih di Masjid Baitul Sadik, Nangahale karena melangggar Protokol COVID-19.
Meski realitanya "puluhan aparat TNI-Polri Kabupaten Sikka terpaksa pulang dengan kecewa, karena gagal menyadarkan Umat Muslim Nangahale untuk tidak melakukan Salat Tarawih berjemaah di Masjid Baitul Sadik pada malam tanggal 6 Mei 2020, dimana Salat Berjemaah dan Tarawih bersama tetap berlangsung, dengan alasan mereka hanya mau patuh kepada perintah Allah.
“Padahal ketentuan protokol COVID-19 yang memberlakukan Social Distancing, Physical Disyancing, PSBB, Karantina dan lain-lain adalah sebagai ketentuan hukum positif negara, yang mengikat semua pihak tanpa kecuali, karena negara kita adalah Negara Hukum, Hukumnya adalah Hukum Nasional bukan Hukum Agama manapun,” kata Petrus dalam keterangan pada Minggu (10/5/2020).
Oleh Karena itu, menurut Petrus, perlu ada tindakan tegas dari aparat TNI-Polri berupa proses hukum terhadap sekelompok warga Nangahale, karena sikap mereka jelas melanggar hukum, bertentangan dengan ketertiban umum dan mengancam keselamatan nyawa warga lainnya atas alasan hanya mau taat kepada perintah Allah.
Jangan Lengah
Petrus menegaskan aparat TNI-POLRI adalah garda terdepan dalam menegakan Protokol COVID-19. Oleh karena itu, sikap tegas dan terukur harus dikedepankan dalam menghadapi perilaku anarkistis dari kelompok manapun juga, karena negara telah berkomitmen mengatasi bahaya COVID-19, dengan Protokol COVID-19. Yaitu Social Distancing, Physical Distancing, PSBB, Karantina dan lain-lain yang mengikat semua pihak tanpa kecuali.
Lebih lanjut, Advokat senior dari Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) mengatakan sikap anarkistis beberapa warga Nangahale tidak boleh dipandang sekadar melanggar Protokol COVID-19 dan melecehkan aparat TNI-POLRI, tetapi lebih dari pada itu, perilaku ini adalah embrio-embrio radikalisme.