Waspadai Kecurangan Sistematis Terjadi di Pilpres
jpnn.com - JAKARTA - Direktur Eksekutif Pusat Kajian (Pusaka) Trisakti Fahmi Habsyi menegaskan kasus Babinsa dan Obor Rakyat yang melibatkan oknum istana kepresidenan, serta gagalnya para Warga Negara Indonesia di Hongkong mengikuti pemungutan suara pemilihan presiden, merupakan preseden terburuk dalam sejarah Pilpres pascareformasi.
Menurut Fahmi, ini dapat diduga indikasi upaya sistematis, terstruktur dan masif (STM) kecurangan pilpres oleh "bromocorah-bromocorah" demokrasi.
Ia menjelaskan potensi kecurangan sistematis nampak juga dari jejak Daftar Pemilih Tetap ganda yang tidak serius dimutakhirkan oleh Komisi Pemilihan Umum hingga mencapai 10 juta pemilih atau setara 5 persen DPT pilpres di 26 daerah pemilihan. Menurutnya, jika dibiarkan ini akan menjadi bom waktu di Pulau Jawa.
"Bayangkan sebuah contoh salah satu kabupaten di Jatim DPT nya melebihi DAK2 (data agregat kependudukan)," ujar sastrawan muda ini, Senin (7/7).
Artinya, lanjut Fahmi, tidak usah kaget jika seorang bayi dan orang yang sudah meninggal masuk sebagai DPT.
"Kemungkinan juga nama-nama fiktif di lingkungan tetangga Anda seperti Pocong, Gendurowo bermunculan di DPT yang berpeluang dimanfaatkan "tuyul-tuyul demokrasi" untuk mencurangi yang melibatkan aparat birokrasi daerah dan penyelenggara pemilu di daerah," paparnya.
Fahmi khawatir pembiaran praktek kecurangan ini sangat menyakitkan hati dan berimbas pada kader partai koalisi dan relawan-relawan merapatkan barisan yang berujung gerakan "people power" di depan mata yang meluas pasca 9 Juli.
Bisa-bisa, Fahmi menegaskan, "people power" ini bukan ditujukan kepada KPU atau capres. Tapi, lanjut dia, kepada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap membiarkan kecurangan terjadi dan tutup mata, karena partai yang dipimpinnya telah memutuskan mendukung pasangan capres yang berpasangan dengan besannya sendiri.