Yusri Yusuf, 18 Tahun Setia Lestarikan Kecapi Maros
Jago Membuat meski Tidak Bisa MemainkanBerbagai pengalaman seni peran pernah dilakoni, namun tidak membawa kepuasan batin bagi Yusri. Pria kelahiran 9 Juli 1960 itu pun lantas memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Dia mencoba peruntungan dengan menjadi pegawai negeri sipil. Masuklah Yusri sebagai pegawai di departemen penerangan.
’’Saat itu saya merasakan kegetiran. Saya melihat di banyak daerah, khususnya di Jawa, kesenian asli begitu dilestarikan, tapi di kampung saya sendiri tidak,’’ ungkapnya. Yusri teringat masa kecilnya ketika para orang tua dengan bangga memainkan kecapi sebagai bagian dari tradisi.
’’Waktu saya kecil, rasanya sering melihat kesenian Maros. Salah satunya ya selalu adanya permainan kecapi,’’ ujarnya. Kecapi itu, menurut dia, dahulu menjadi bagian tak terpisah bagi masyarakat Maros.
Denting-denting senar kecapi mengalun di berbagai sudut. Mulai dimainkan di sawah untuk ungkapan rasa syukur saat panen sampai hajatan warga. Bahkan, tidak jarang para orang tua memainkan kecapi sembari menanamkan budi pekerti kepada anak mereka.
Semangat menggairahkan Yusri makin tumbuh ketika dia menemukan warisan kecapi dari neneknya. Kecapi itu kini telah berusia 70 tahun dan disimpan di Museum Nasional Jakarta. ’’Dari kecapi punya nenek itu, saya coba membuat replikanya. Sebab, saat itu mencari perajin kecapi di Maros sudah sangat langka,’’ jelasnya.
Yusri sempat merasakan kesulitan. Sebab, pengetahuan bapak empat anak itu tentang kecapi sangat minim. Bahkan, hingga kini dia tidak lihai memainkan kecapi. ’’Dulu saya sama sekali tidak bisa main. Kini sedikit-sedikit sudah ngerti fals atau tidak,’’ kelakarnya.
Untuk membuat sebuah kecapi, ketika itu Yusri memerlukan waktu 20 hari. Hampir setiap hari dia meluangkan waktu untuk menyelesaikan proyek idealisnya tersebut. ’’Sempat ada orang kampung yang mencibir saya gila. Tiap hari bergelut dengan kayu, mulai mengukur sampai mengukir. Sebab, membuat kecapi kan butuh ketelitian dan kesabaran,’’ jelasnya.
Kecapi pertama Yusri itu pun akhirnya tuntas. Jerih payah selama 20 hari tersebut hanya terjual Rp 50 ribu. Namun, semangat yang tidak pernah padam membuat dia terus melanjutkan membuat kecapi. Akhirnya upaya itu mendapat dukungan dari sejumlah akademisi di Makassar dan Maros.