11 Kejadian Ekonomi Global yang Memengaruhi Pasar Forex

Jumat, 18 November 2022 – 14:30 WIB
Inovasi teknologi pada 2012 turut melahirkan revolusi 'trading mobile’ yang menjadi lompatan besar untuk pasar forex. Ilustrasi: OctaFX

jpnn.com, JAKARTA - Inovasi teknologi pada 2012 turut melahirkan revolusi 'trading mobile’ yang menjadi lompatan besar untuk pasar forex.

Sejak saat itu, investor memungkinkan trading di mana pun dan kapan pun, selama mereka memiliki akses internet.

BACA JUGA: Rahasia BRI Kokoh di Pasar Forex

Di sisi lain, satu dekade yang lalu eksperimen moneter luar biasa dan spekulasi memberikan dampak pada dunia forex.

Kebijakan moneter nonstandar atau tidak konvensional, pelonggaran kuantitatif (quantitative easing atau QE), dan suku bunga negatif menjadi tantangan sistemis bagi sektor keuangan dunia, yang sudah sangat berat pasca krisis keuangan 2007-2008.

BACA JUGA: BI Cegah Pelaku Pasar Forex Nakal

Kemudian, situasinya makin buruk selama resesi 2020 yang disebabkan oleh pandemi global virus Corona. Permasalahan yang paling jelas adalah makin meningkatnya utang negara serta hilangnya daya beli USD dan euro.

Broker Forex internasional, OctaFX merangkum beberapa peristiwa Forex penting dan spesifik selama satu dekade terakhir, berikut ulasannya:

BACA JUGA: Darmadi Durianto Apresiasi Capaian Positif BRI di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

1. Forex Probe yang Terkenal

Skandal Forex luar biasa terjadi pada 2013. Skandal itu kemudian dikenal dengan istilah Forex Probe.

Akibat skandal itu regulator pasar internasional, termasuk AS dan Swiss turun tangan melakukan investigasi.

Penyelidikan independen tersebut mengungkap rantai korupsi besar, yang menunjukkan bagaimana bank-bank internasional berkolusi setidaknya selama sepuluh tahun untuk memanipulasi nilai tukar di pasar Forex.

Ada tiga perbankan yang diadili dan didenda dalam prosesnya adalah bank-bank terkenal dunia seperti Citibank, HSBC, dan JP Morgan. Bisnis tetap berjalan seperti biasa. Namun, skandal tersebut memberi pukulan serius pada industri keuangan yang semestinya menggairahkan, berkembang, dan menjanjikan.

2. China Menjadi Perekonomian Terbesar di Dunia

Dana Moneter Internasional (IMF) mengumumkan bahwa Republik Rakyat Cina secara resmi naik ke peringkat pertama perekonomian terbesar di dunia pada 2015.

IMF menggunakan indikator purchasing power parity (PPP) untuk membuat keputusan tersebut. PPP adalah teori yang menyatakan bahwa nilai tukar antara dua mata uang seimbang ketika daya beli keduanya sama di tiap dua negara tersebut.

Meskipun produk domestik bruto (PDB) China masih lebih rendah dibandingkan Amerika Serikat, Beijing memimpin secara signifikan dalam hal pertumbuhan tahunan sehingga mampu menutupi kekurangan lainnya.

Mata uang internasional hipotetis, renminbi Cina juga mengalami proses internasionalisasi yang dinamis pada 2015. Permintaan pasar yang meningkat dengan cepat menjadikan renminbi mata uang cadangan Valuta Asing, sebagaimana didokumentasikan oleh laporan relevan Bank for International Settlements (BIS) dan beberapa lembaga lainnya.

3. Uni Eropa Terlalu Memaksakan Diri hingga Krisis Utang Yunani 2015

Akar krisis sistemis berawal pada 2009 sebagai akibat resesi hebat yang disebabkan oleh krisis keuangan dunia pada 2007.

Ekonomi Yunani ternyata sangat rapuh dan rentan terhadap gejolak ekonomi saat itu. Kondisi keuangan negara Yunani berada di ujung tanduk, hingga akhirnya Uni Eropa turun tangan menggelontorkan pinjaman baru senilai USD 86 miliar kepada Athena agar dapat melunasi pembayaran utang yang jatuh tempo.

Padahal, dana talangan pemerintah semacam ini tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah modern. Setelah itu, menyusul ketakutan mengenai negara-negara lain yang juga di ujung tanduk berikut dana talangan yang perlu dikeluarkan.

Debat publik yang tidak dapat diabaikan oleh institusi politik Eropa pun mencuat, yang mempertanyakan peluncuran mata uang Uni Eropa 2002 dan manfaatnya.

Tepat pada saat itu, Bank Sentral Eropa (ECB) kebetulan mengumumkan program 'pelonggaran kuantitatif' (QE) untuk menciptakan 1,1 triliun euro lagi.

sebelumnya, pembicaraan untuk membenarkan langkah ini adalah 'deflasi' di seluruh zona Eropa.

Yunani yang saat itu dilanda krisis sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk menerima uang Eropa.

Utang publik negara itu tidak dapat dibeli dengan uang yang baru dicetak. Sebaliknya, Athena menerima pinjaman uang Uni Eropa lama dengan pengaturan dan bunga yang sama sekali berbeda.

4. Britania Raya Hengkang dari Uni Eropa 2016

Pemilih Inggris bersepakat meninggalkan Uni Eropa pada 2016 dengan selisih perolehan suara yang sangat kecil, 51,9 persen. Peristiwa itu membuat dunia terkejut.

Akibatnya, masyarakat Inggris menemui persimpangan ketidakpastian ekonomi dan politik. Pemerintah konservatif yang bertanggung jawab juga tidak memiliki jalan keluar yang tepat untuk masalah ini.

Yang terjadi selanjutnya adalah mata uang nasional terseret melalui labirin Valuta Asing internasional. Pound sterling Inggris melemah sejak saat itu.

5. Harga Minyak Mentah Merosot selama Fenomena Trump

Ketika Donald J. Trump mengajukan pencalonan sebagai Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik pada 2015, tidak banyak yang mengharapkan keberhasilannya.

Meskipun demikian, setelah kampanye yang penuh warna, blak-blakan, dan terkadang kontroversial, ia muncul sebagai pemenang pemilihan presiden AS 2016.

Kemenangan Donald J. Trump menimbulkan kejutan di bidang politik, sosial, dan ekonomi, baik di Amerika Serikat maupun internasional.

Saat itu, harga minyak mentah merosot tajam sementara pasar terbiasa dengan harga minyak mentah yang diperdagangkan antara 75 USD dan 115 USD per barel untuk paruh pertama dekade 2010-an, industri fracking AS berada di jalur cepat, bersama dengan produksi minyak serpih domestik yang berkembang pesat.

2014 adalah tahun ketika AS mencatat produksi minyak dua kali lipat lebih banyak daripada biasanya, berbeda dengan 2008. Di tahun 2016 semua berakhir mendadak ketika harga minyak jatuh ke 26 USD per barel. Tren ini berkelanjutan di paruh kedua dekade lalu.

6. 2011-2015: Revolusi Minyak Serpih Amerika Serikat (Minyak Mentah dan Gas Alam)

Revolusi serpih mengacu pada kombinasi teknologi baru dan praktik inovatif dalam industri minyak dan gas alam di Amerika Serikat. Secara khusus, penggunaan pengeboran horizontal dan penerapan rekahan hidrolik memfasilitasi pengembangan sumber daya serpih dan, pada gilirannya, memungkinkan Amerika Serikat untuk meningkatkan produksi bahan bakar fosil secara signifikan.

Efek transformatif dari ledakan serpih begitu dramatis sehingga pada 18 Desember 2015, Barack Obama, Presiden AS ke-44, menandatangani undang-undang yang mencabut larangan ekspor minyak negara tersebut selama beberapa dekade.

Tidak ada tanggal pasti yang ditentukan untuk menandai revolusi serpih. Namun, secara umum diterima bahwa ledakan serpih sudah berjalan penuh pada 2011-2012 dan mengubah lanskap energi AS.

Amerika Serikat tidak lagi bergantung pada impor minyak dan gas alam untuk menjembatani kesenjangan antara permintaan yang tinggi dan produksi yang perlahan-lahan menurun, sebaliknya, negara tersebut kini berperan aktif sebagai pemasok global, khususnya LNG.

7. Perang Dagang Amerika Serikat-China 2018

Salah satu gagasan dan bidang kebijakan utama Presiden Trump adalah ambisinya untuk mengubah hubungan perdagangan dengan Beijing. Ketidakseimbangan perdagangan yang tidak menguntungkan bagi AS mengusik Trump.

Karena berakibat defisit perdagangan yang besar dan berlangsung lama, salah satu strategi Trump adalah pemberlakuan tarif untuk menantang ekspor Cina secara langsung di pasar global.

Diskusi alot pun tak lagi terhindarkan, diikuti dengan banyaknya gerakan dan tindakan dari kedua belah pihak. Pembatalan impor kedelai oleh Beijing dari AS hanyalah salah satu dari banyak pembalasan Cina terhadap tarif yang sering dikenakan Trump.

Dalam istilah ekonomi, analis liberal mendefinisikan kepresidenan Trump sebagai tipe modern dari 'isolasionisme' atau 'proteksionisme'. Tipe ini lebih menyukai manufaktur domestik dan pengaturan perdagangan daripada kebijakan perdagangan global yang membuat Washington  dianggap—setidaknya oleh Trump dan timnya—dirugikan.

8. Pemilu Amerika Serikat 2021

Berharap untuk mengulang kemenangannya pada tahun 2016 dan memasuki masa jabatan kedua, Presiden Trump kalah dari penantang dari kaum demokratis—Joe Biden.

Secara historis, diketahui bahwa presiden AS yang populer biasanya berhasil meyakinkan pemilih dan memasuki masa jabatan kedua. Salah satu pengecualiannya adalah Jimmy Carter—terlepas dari kurangnya popularitas. Jadi, Trump mungkin satu-satunya pengecualian modern.

Begitu hasil pemilu diperoleh, kontroversi mulai bermunculan, yang pada akhirnya mengarah pada sejumlah ketidakpuasan di tengah masyarakat AS. Di sisi lain, Trump berhasil meningkatkan pendapatan dan pengeluaran rakyat Amerika. Bahkan, kesepakatan perdagangan baru untuk Amerika Utara—untuk mengurangi dominasi perdagangan Cina—merupakan efek dari kebijakan politik yang dijalankannya.

9. Pandemi COVID-19 dan Resesi 2020

Pada 9 Maret 2020 menandai jatuhnya pasar saham. Segera setelahnya, Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok ke titik terendah sejauh itu. Semua disebabkan oleh dahsyatnya pandemi COVID-19 yang menyebar luas.

Akibat keterpurukan tersebut, investor di seluruh dunia mengkhawatirkan penularan virus Corona dan efeknya dalam menyebarkan serta melemahkan pergerakan dan harga aset secara global. Tak lama kemudian, antisipasi rangkaian penurunan harga minyak dan resesi baru pun terbukti nyata.

10. Kejayaan dan Kehancuran Kripto 2021

Pada Maret 2020, selama periode yang disebut acara kripto black swan, harga Bitcoin sangat rendah, yaitu di kisaran USD 4.826. Secara kebetulan, ini terjadi selama gelombang kejutan besar pertama pandemi COVID-19 yang melanda ekonomi dunia.

Bitcoin pulih dengan cepat dan mencapai harga 10 ribu. Kemudian, menjelang akhir 2020, harganya hampir menyentuh USD 30 ribu.

Sebagian besar mata uang kripto lainnya, seperti Ethereum, mengikuti tren bullish ini. Selama waktu tersebut, investor dan trader ritel berbondong-bondong membanjiri industri kripto. Pada Juni 2021, Bitcoin menembus harga USD 52 ribu sebelum meroket lebih tinggi lagi menuju USD 65 ribu pada Oktober dan USD 67.500 pada November.

Setelah itu, tren penurunan mulai menghantui, yang pada akhirnya mulai berubah menjadi bearish begitu 2022 dimulai. Dipasangkan dengan pasar saham, Bitcoin dan mata uang kripto secara keseluruhan kini berada dalam mode terjun bebas.

11. Varian Baru COVID-19

Pada 2021, ketakutan akan mutasi virus Corona dan kemungkinan varian baru COVID-19 melahirkan ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir.

Pengembangan vaksin dan penyebarluasannya di seluruh dunia sudah resmi dilakukan. Era New Normal yang menggambarkan paradigma baru ini juga menyaksikan ketidakpastian ekonomi akibat kebijakan ‘pelonggaran kuantitatif’ yang diberlakukan di Amerika Utara dan Eropa.

Sejumlah besar unit mata uang yang baru dicetak membanjiri ekonomi sebagai pelindung dari masalah yang diakibatkan oleh pembatasan COVID-19 pada pasar kerja, sektor sosial, dan perdagangan internasional.

Dilihat dari sisi manapun, dasawarsa yang lalu memang penuh dengan peluang dan tantangan yang unik. Melihat keadaan dunia saat ini, komunitas Forex bisa mengatakan dengan pasti bahwa perjalanan ke depannya memang agak berisiko, namun tetap menarik dan mengasyikkan. Keuangan model lama sedang mengalami perubahan yang sangat dinamis— mengantarkan ‘reformasi keuangan’—yang berpeluang menjadikan Asia sebagai titik fokus baru superioritas dan bimbingan finansial. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Begini Upaya Bea Cukai Mendorong Pertumbuhan Ekonomi di Yogyakarta dan Kuningan


Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Elvi Robiatul, Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler