jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mencermati situasi saat terjadi baku tembak yang menewaskan Brigadir J di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan pada Jumat (8/7).
Konon dalam insiden yang melibatkan Brigadir J dan Bharada E itu ada 12 tembakan terjadi.
BACA JUGA: Tak Ada Ambulans Seusai Baku Tembak, Jenazah Brigadir J Dievakuasi pakai Apa? Duh
Polisi menyebut Brigadir J melepaskan tujuh tembakan, sedangkan Bharada E lima tembakan.
Melihat jumlah peluru yang berhamburan, Reza menduga situasinya tidak mungkin genting saat kejadian tersebut.
BACA JUGA: Baku Tembak di Rumah Irjen Ferdy Sambo, Mahfud MD Melihat Kejanggalan Ini
"Kalau situasinya kritis atau genting pasti akan dalam tempo sekejap, pelurunya sedikit," kata Reza Indragiri kepada JPNN.com, Kamis (14/7).
Reza menyebut baku tembak yang menghabiskan banyak peluru mengindikasikan rentang waktunya cukup panjang.
BACA JUGA: Pertahankan Guru Honorer, Daerah Ini Tambah Anggaran Gaji, Mantap!
Dia menjelaskan tempo yang panjang itu tidak sesuai dengan kriteria kegentingan atau kritis yang memaksa Bharada E untuk menembak mati Brigadir J.
"Saya membayangkan personel polisi akan bisa menerapkan SOP," ujar pria penyandang gelar MCrim (Forpsych-master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne Australia itu.
Menurut pria kelahiran Jakarta, 19 Desember 1974 itu, ada 2 teori terkait seseorang termasuk personel polisi menggunakan senjata api.
"Teori pertama menjelaskan tentang sistem berpikir yang tertata yang teratur dalam lingkup kepolisian ini diterjemahkan dalam bentuk SOP," ujarnya.
Sesuai SOP, lanjut Reza, seorang polisi harus melakukan penembakan ke ruang hampa terlebih dahulu, lalu penembakan ke bagian tubuh yang tidak mematikan, dan puncaknya adalah ke titik mematikan pada tubuh target.
Reza menjelaskan mengacu pada teori pertama maka penting untuk diinvestigasi, adakah terlihat penerapan SOP itu di lapangan.
BACA JUGA: 5 Info Terbaru Soal Kasus Brigadir J, Salah Satunya Mayjen (Purn) Tersinggung
"Coba cek, peluru di ruang hampa mengenai bagian mana, peluru yang ke bagian tubuh yang tidak mematikan di sebelah mana, dan peluru yang mematikan ada di tubuh bagian mana?" tuturnya.
Teori kedua, personil polisi dalam situasi kritis atau situasi genting tidak mungkin untuk mengikuti tahap-tahapan tersebut.
Dia mencontohkan pada kasus penembakan terhadap Laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek dalam situasi yang resikonya adalah hidup atau mati.
BACA JUGA: Istri Ferdy Sambo Teriak Picu Baku Tembak, Kejanggalan Besar, Terbaru soal Senjata
"Muskil kiranya bagi siapa pun termasuk personel Polri untuk menembak menggunakan senjata api secara bertahap, tetapi langsung ke bagian tubuh yang dianggap bisa menghentikan lawan," ucap Reza Indragiri. (mcr8/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Kenny Kurnia Putra