jpnn.com, JAKARTA - Kubu capres-cawapres nomor urut 01, Jokowi - Ma’ruf Amin sudah menyiapkan 2 juta saksi berikut hampir 10.000 advokad. Pembekalan memberikan diberikan secara tertutup. Mereka akan mengawal proses pemungutan dan penghitungan suara, serta rekapitulasi suara berjenjang hingga tingkat pusat.
“Persiapan tersebut sudah merupakan langkah awal strategis yang tepat,” kata Girindra Sandino, Peneliti 7 (Seven) Strategic Studies dalam keterangan persnya, Jumat (22/2).
BACA JUGA: Bersih dari Mantan Koruptor Jadi Modal Kuat PSI
Menurut Girindra, tahapan yang paling terpenting dari proses pelaksanaan pemilu adalah hari H atau pemungutan suara, serta proses rekap yang berjenjang.
Oleh karena itu, Girindra menyampaikan pengalamannya sebagai pemantau lapangan. Ia mengimbau agar para saksi perlu memperhatikan secara serius beberapa tahapan berikut ini:
BACA JUGA: Ormas Punya Peran Penting Wujudkan Pemilu Damai
Pertama, para saksi harus tahu betul situasi dan kondisi daerah serta TPS yang akan di pantau, serta memahami secara detail dan rinci aturan-aturan main yang ada di TPS-TPS.
Sebagai contoh, apakah DPT terpampang di TPS, apakah kotak suara tersegel, apakah masih ada APK lawan yang dapat mempengaruhi pemilih dalam radius tertentu, apakah masih ada warga yang belum mendapat formulir C6 (surat pemberitahuan lokasi memilih/TPS),
BACA JUGA: Sukses Pemilu Penting untuk Pertumbuhan Demokrasi
Kedua, harus tahu betul tugas-tugas PPS dan KPPS (Khususnya Ketua KPPS dan PPS). Juga harus mengetahui tujuh orang petugas KPPS apa saja tugasnya.
Paling rawan misalnya, anggota KPPS keempat dan KPPS kelima, yang bertempat di dekat pintu masuk TPS menerima pemilih yang akan masuk ke dalam TPS. Kenapa KPPS keempat rawan, karena tugasnya meminta pemillih menunjukkan e-KTP atau identitas lain sebagai syarat memilih, memeriksa kesesuaian pemilih dengan form C6, memeriksa kesesuaian nama pemilih (NIK harus diperhatikan untuk menghindari pemilih ganda), termasuk memeriksa jika terdapat pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dan DPTb.
Ketiga, khusus mengenai pemilih yang memiliki e-KTP tapi tidak terdaftar dalam DPT dan DPTb yang akan didaftarkan di dalam DPK. Dan saksi harus jeli soal identitas lain seperti suket (surat keterangan), kartu keluarga, paspor dan surat izin mengemudi sebagai syarat dapat memilih. Serta pemilih dengan kondisi tertentu. Hal ini untuk menghindari mobilisasi pemilih fiktif.
Keempat, saksi harus mengetahu jenis-jenis dan fungsi formulir-formulir
Kelima, saksi harus cermat saat proses penghitungan suara dimulai, seperti memperhatikan dan mendokumentasikan C1 plano, PPWP, DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten dan DPD. Jumlah pemilih tedaftar di DPT, DPTb, DPK yang memberikan suara, surat suara yang rusak atau tidak digunakan atau sah, tidak sahnya surat suara.
Keenam, bagaimana menghadapi penyelesaian keberatan, missal salah menulis angka keberatan tersbeut harus dilaksanakan KPPS dan dibetulkan seketika itu juga.
Ketujuh, penyampaian salinan formulir Model C-KPU (5 jenis model). Mmeperhatikan 1 rangkap formulir kepada PPS yang disegel dalam sampul kertas untuk diumumkan di kelurahan/desa atau nama lainnya. Saksi dan pengawas TPS wajib mendapat salinan tersebut dan mencocokannya terkait kebenaran angka.
Kedelapan, pengawalan dan pengamanan kotak suara setelah rapat penghitungan suara.
Kesembilan, menurut pengalaman kami yang sering melakukan pemantauan, penjagaan ketat harus dilakukan di tingkat kecamatan.
Sebagaimana diketahui, dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada petugas jajaran bawah penyelenggara pemilu, kerap kali “masuk angin” atau “rapuh” secara psikologis jika berhadapan dengan uang, atau janji-janji lain oleh oknum-oknum “pemain” yang biasanya orang-orangnya adalah pemain yang sama setiap ada hajatan pemilu maupun pilkada.
Kesepuluh, saksi harus diberi modul atau alat kerja berupa kertas atau lainnya yang dapat menggambarkan secara keseluruhan proses pemungutan, penghitungan di TPS serta rekap berjenjang. JIka ada kejanggalan, sebaiknya dibentuk tim khusus yang langsung menangani permasalahan, jangan ditunda-tunda.
Kesebelas, proses perekrutan saksi-saksi harus benar-benar selektif. Yang memang harus dimulai dari sekarang, karena waktu sudah mepet. Khususnya untuk mencari coordinator atau korlap baik tingkat kecamatan dan kelurahan, yang memiliki militansi, idealis, memiliki kompetensi dan kredibilitas, responsif, bernyali besar, organizer, dan memiliki kemampuan teknis kepemiluan yang memadai.
Sulit untuk mencari orang atau saksi yang memiliki kaliber seperti itu, terkecuali dilakukan pelatihan dengan dikarantina dan melakukan perjanjian seperti perjanjian sacral atau suci.
Keduabelas, mendirikan posko-posko untuk para saksi. Untuk koordinasi di setiap kecamatan atau kelurahan, untuk klinik kesehatan, persediaan logistik, karena pengawalan suara membutuhkan kondisi fisik dan mental yang prima. Oleh karena itu wajar bila saksi seharusnya lebih dari satu.
Ketigabelas, Tim sukses inti yang mengelola IT atau tabulasi suara yang masuk harus menguji coba sistem teknologi tersebut. Uji publik, seperti dibiarkan dulu di hacker atau dijaili, agar jika terjadi seperti itu kelak, dapat segera ditangani dengan cepat. Hal ini juga dapat berlaku pada sistem IT KPU.
“Sebetulnya masih banyak lagi yang harus dilakukan, namun paparan di atas cukup untuk menggambarkan bagaimana saksi-saksi harus bekerja dengan jeli, professional, cermat, dan bertanggung jawab, sehingga tidak hanya sekedar piknik di TPS-TPS,” kata Girindra.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rumah Sakit Jiwa HB Saanin Siapkan 150 Kamar Buat Caleg Gagal
Redaktur & Reporter : Friederich