Sebuah laporan investigasi terbaru mengungkap pengerahan pasukan gabungan TNI/Polri ke wilayah Nduga di Papua atas perintah Presiden Indonesia Joko Widodo sejak 4 Desember 2018, telah menyebabkan lebih dari 5000 warga mengungsi, 139 di antaranya meninggal dunia.
Laporan berjudul Investigation Report on the Growing of Nduga Conflict and Its Impact yang dirilis Tim Solidaritas untuk Nduga bersama Tim Relawan Kemanusiaan di Wamena ini mendesak Presiden Jokowi segera menarik pasukan non organik TNI/Polri dari wilayah tersebut.
BACA JUGA: Juri MasterChef Australia Diganti, Akankah Acara Televisi Ini Tetap Populer?
"Warga Nduga kalau lihat tentara itu masih ada bayangan ketakutan. Mereka trauma," ujar Hipolitus Wangge dari Tim Solidaritas kepada wartawan ABC Farid M. Ibrahim, Rabu (24/7/2019).
Dia menunjuk kejadian baru-baru ini ketika anak-anak pengungsi melarikan diri begitu melihat tentara datang ke tempat pengungsian mereka.
BACA JUGA: DPR Australia Setujui Larangan Kembalinya Kombatan Asing Sampai Dua Tahun
Hipolitus yang juga peneliti pada Marthinus Academy menjelaskan, jumlah pengungsi yang meninggal itu merupakan data akumulasi yang dikumpulkan sejak Desember 2018 hingga 16 Juli 2019.
Sementara itu, Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos Harry Hikmat membantah adanya pengungsi yang meninggal dunia.
BACA JUGA: Partisipasi Pendidikan Naik Tapi Jutaan Anak Indonesia Masih Putus Sekolah
"Dinas Sosial Kabupaten Wamena menyatakan hingga saat ini belum menerima laporan korban meninggal dunia," kata Dirjen Harry seperti dilaporkan Kantor Berita Antara, Senin (22/7/2019). Photo: Tim Solidaritas untuk Nduga dan Relawan Kemanusiaan di Wamena menyebutkan sejak empat bulan terakhir, bantuan makanan untuk pengungsi sudah dihentikan karena persediaan semakin menipis. (Hipolitus Wangge: Istimewa)
Menurut Hipolitus, data jumlah pengungsi yang meninggal itu dikumpulkan sendiri oleh relawan yang bertugas di Wamena selama delapan bulan terakhir.
"Dari berbagai tempat pengungsian, hanya di Wamena satu-satunya yang ada tim relawan kemanusiaannya. Tim ini sebagian besar orang Nduga sendiri sehingga ada kedekatan bahasa dengan pengungsi," jelasnya seraya menambahkan, orang Nduga memiliki bahasa tersendiri yang berbeda dengan orang Papua lainnya.
Bantahan dari Pemerintah Indonesia, menurut Hipolitus, wajar saja sebagai sikap reaksioner karena mereka hanya mendapatkan laporan dari aparat pemerintah daerah maupun dari pihak militer.
"Para pengungsi di Wamena lebih mempercayai relawan kemanusiaan yang sama bahasanya, sedangkan aparat Pemerintah Indonesia selama 8 bulan ini kemana saja?" katanya.
Menurut dia, para pengungsi di tempat lain seperti di Jayawijaya serta yang melarikan diri ke hutan juga tidak terdata berapa jumlah yang meninggal sejak operasi gabungan TNI/Polri berlangsung di Nduga.
Sementara titik pengungsian di Wamena, menurut laporan Relawan Kemanusiaan, berada di 36 titik, sehingga satu honai (rumah tradisional) bisa menampung hingga ratusan jiwa. Photo: "Para pengungsi di Wamena lebih mempercayai relawan kemanusiaan yang sama bahasanya, sedangkan aparat Pemerintah Indonesia selama 8 bulan ini kemana saja?" (Hipolitus Wangge: Istimewa)
Laporan investigasi juga menyebut adanya penangkapan terhadap empat pengungsi yang dicurigai terkait dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pimpinan Egianus Kogeya.
"Tim investigasi juga menemukan warga sipil yang meninggal, termasuk dua anak usia sekolah yang ditembak di Mbua, salah satu wilayah di Nduga. Sejumlah warga yang tertembak mengalami luka yang menyebabkan kematian mereka," kata laporan ini.
Secara terpisah juru bicara Kodam Cendrawasih Kolonel Muhammad Aidi menyebut laporan investigasi dari Tim Solidaritas sebagai "hoaks".
"Tidak ada data mengenai jumlah yang meninggal," kata Kolonel Aidi seperti dilaporkan Kantor Berita Reuters, 18 Juli 2019.
Jika benar ada pengungsi yang meninggal, apalagi jumlah ratusan orang, pihaknya meminta agar ditunjukkan dimana mereka dikuburkan.
Kolonel Aidi mengklaim sejumlah pengungsi bahkan telah pulang ke rumah mereka atas bantuan militer dan aparat pemerintah. Photo: Proyek jalan Trans Papua membelah jantung Taman Nasional Lorentz yang ditetapkan UNESCO sebagai situs warisan dunia. (Istimewa.)
Konflik yang terjadi Nduga saat ini dipicu pembunuhan pekerja jalan Trans Papua pada 2 Desember 2018 oleh TPNPB, yang dibalas dengan pengerahan pasukan gabungan TNI/Polri sebagai tindak lanjut instruksi Presiden Jokowi.
Menurut laporan investigasi, meski tidak disebut sebagai Operasi Militer, namun mekanisme pengerahan pasukan gabungan itu sama dengan operasi militer, yang telah berlangsung sejak 4 Desember 2018 hingga saat ini.
Laporan warga yang dikumpulkan tim investigasi menyebut helikopter dan pasukan yang menggunakan kendaraan jenis Mitsubishi Strada telah beroperasi di berbagai wilayah Nduga seperti Mbua, Mbulmuyalma, Yigi, Nirkuri, Inikngga, Mugi, Mam dan Dal.
Menurut Hipolitus, pembangunan jalan Trans Papua sendiri perlu dievaluasi dengan melibatkan masyarakat lokal, karena mereka sangat mengkhawatirkan rusaknya keseimbangan alam tempat tinggal mereka selama ini.
"Jalan ini menembus jantung Taman Nasional Lorentz yang dilindungi UNESCO," katanya.
Hipolitus tidak menampik aspek positif infrastruktur jalan untuk wilayah pesisir yang menyambung titik-titik di wilayah pesisir.
"Namun ketika masuk ke wilayah pengunungan di dataran tinggi, itu punya dampak tersendiri," ujarnya.
Wilayah Nduga selama ini sudah dikenal sebagai salah satu basis Gerakan Papua Merdeka, yang secara geografis sangat startegis karena masih terisolasi.
Pemerintah Indonesia ingin membuka isolasi tersebut dengan membangun Trans Papua yang telah digagas sejak era Orde Baru, dan diakselerasi sejak era Presiden Jokowi.
Bahkan sebagai reaksi atas penembakan pekerja Trans Papua, Presiden Jokowi menyatakan akan tetap melanjutkan proyek Trans Papua dengan supervisi dari pihak TNI.
Proyek ini berupa pembangunan jalan sepanjang 4.600 km dan 35 jembatan yang akan menghubungkan Mamugu di Nduga dengan Wamena di Jayawijaya.
Tim Solidaritas untuk Nduga dan Relawan Kemanusiaan di Wamena juga mendesak Komnas HAM untuk turun ke lapangan dan menyelidiki apa yang sebenarnya telah terjadi.
Selain itu, Hipolitus Wengga mendesak agar pemerintah Indonesia membuka akses bagi lembaga kemanusiaan dan jurnalis untuk masuk ke wilayah Nduga.
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tertangkap Miliki Dan Pakai Kokain Di Bali, Dua Pria Australia Terancam Dipenjara Maksimal 12 Tahun