Memperingati hari Hak Asasi Manusia sedunia, 147 pastor di Papua mengirimkan pesan kepada semua pihak yang terlibat, di antaranya Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Presiden Joko Widodo, dan Gubernur Papua Lukas Enembe, serta kelompok bersenjata, untuk mengakhiri kekerasan di provinsi paling timur itu.

Menurut para pastor, seruan ini disampaikan menyusul tingkat kekerasan yang makin instensif dua tahun belakangan ini. Mereka mencatat, sepanjang tahun 2018 sampai 2020 terjadi beberapa insiden kekerasan, termasuk penembakan beberapa pemuka agama oleh tim gabungan TNI dan POLRI.

BACA JUGA: PDIP Sebut Papua Makin Memerah di Pilkada Serentak 2020

Dalam pernyataannya, mereka menyebut penembakan Rufinus Tigau, katekis Katolik di Intan Jaya bulan Oktober lalu. Photo: Jenazah Rufinus Tigau ditemukan warga sudah dikubur dan ditutup daun pisang. (Supplied: Jubi/ Diosesan Keuskupan Timika)

 

BACA JUGA: Suami Istri Selamat, Bayi Hani Sukmawati Hilang di Sungai

Meski disebut gereja Katolik sebagai pengurus, TNI - melalui Kepala Penerangan Kogabwilhan III Kolonel Czi Gusti Nyoman Suriastawa saat itu mengatakan bahwa Rufinus adalah bagian kelompok bersenjata yang menyerang militer.

Pernyataan tertulis yang dikeluarkan Keuskupan Timika, Pastor Marthen Kuayo, membantah tudingan TNI bahwa Rufinus adalah bagian dari kelompok separatis atau kelompok bersenjata.

BACA JUGA: Polisi Amankan Uang Rp450 Juta, Sebagian Sudah Dalam Amplop

"Tuduhan bahwa Rafinus terlibat dalam gerakan separatis atau kelompok bersenjata yang dituduhkan kepadanya adalah tidak benar."

Sebelumnya pada bulan yang sama, pewarta muda Katolik Agustinus Duwitau juga menjadi korban penembakan pasukan TNI non-organik Yonif Raider 400 Brawijaya, menyusul penembakan Pendeta Yeremia Zanambani oleh TNI pada bulan September.

Selain penembakan sejumlah pemuka agama, para pastor juga mencatat insiden lain seperti kasus ujaran rasis yang pecah di Surabaya, Jawa Timur, di mana mahasiswa Papua disebut 'monyet' pada Agustus 2019 yang memicu aksi protes di Papua.

Ada pula penangkapan yang dilakukan aparat terhadap anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merefleksikan penentangan terhadap orang asli Papua, mengingat MRP adalah institusi negara yang sah dan dilindungi oleh hukum sesuai dengan Undang-undang Otonomi khusus Papua. Seruan kepada pihak yang bertikai, Presiden, sampai KWI Photo: Buntut dari insiden ujaran kebencian rasis di Surabaya, Jawa Timur, massa melakukan aksi di Jayapura, Senin (19/8/2019).
(Supplied: ANTARA FOTO/Gusti Tanati.)

 

Berbicara mewakili 147 pastor di Papua, Pastor Alberto John Bunay yang merupakan Pastor Pembina Orang Muda Katolik Keuskupan Jayapura mengatakan, landasan dari seruan ini adalah keselamatan umat Tuhan yang mereka layani di Papua.

"Kami merasa terpanggil untuk menjadi corong untuk menyuarakan hati nurani umat yang dipercayakan Tuhan dalam misi penggembalaan kami di seluruh tanah Papua. Kami menyuarakan rintihan hati nurani mereka yang lumpuh, semua yang tidak berdaya, mereka semua yang hidup dalam kecemasan dan ketakutan di seluruh tanah Papua, terutama di kampung-kampung di pedalaman."

Ada sepuluh poin yang diserukan oleh ke-147 pastor ini kepada berbegai pihak. Seruan yang pertama ditujukan kepada kedua kelompok yang bertikai, yaitu TNI/POLRI dan TPN OPM, untuk segera menghentikan kekerasan bersenjata dan membuka ruang untuk berunding dan berdialog.

"Kekerasan akan melahirkan dendam, dan kekerasan yang baru akan membunuh kehidupan. Sadarlah bahwa keselamatan nyawa manusia tidak berada di ujung laras senjata, Saudara sekalian."

Seruan yang kedua ditujukan kepada Presiden Joko Widodo sebagai Panglima Tertinggi, agar segera menggelar pertemuan dengan Kapolri dan Panglima TNI untuk mengevaluasi dampak dari penambahan pasukan di Papua, serta segera menarik pasukan TNI dan POLRI dari seluruh tanah Papua. 'KWI jangan tinggal diam'

Selain kepada kedua kelompok yang bertikai dan presiden, para pastor juga mengirimkan seruan kepada Gubernur Papua Lukas Enembe, kepada pemerintah Indonesia secara umum dan para investor, kepada kelompok rawan pemicu konflik horisontal, para pemimpin pemerintahan daerah, dan para pengambil kebijakan migrasi, serta kepada pimpinan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Kepada organisasi yang menaungi gereja Katolik di Indonesia ini para pastor mempertanyakan sikap KWI yang selama ini dituding cenderung diam dalam menyikapi kekerasan di Papua.

"Kami, para Pastor Papua ingin bertanya: Mengapa Bapak-bapak Pimpinan Gereja Katolik Indonesia tidak membahas secara holistic, serius dan tuntas mengenai konflik terlama di Tanah Papua dalam rapat tahunan KWI? Ada apa dengan Tanah Papua ini?"

"Sekali lagi kami berharap, merindukan, dan memohon, agar Bapak Kardinal dan Para Uskup se-Indonesia jangan tinggal diam atau seakan-akan tidak mau tahu dengan kondisi terlukanya rasa kemanusiaan umat Tuhan di Tanah Papua, terutama Ras Melanesia yang sedang menuju ambang kepunahan." Photo: Para Uskup dari seluruh keuskupan di Indonesia, dalam Pembukaan Sidang Tahunan KWI, Bandung, 4 November 2019. (Supplied: Dokpen KWI)

 

Para pastor menawarkan dialog komprehensif yang bisa menyelesaikan konflik terpanjang di tanah Papua, yang menurut mereka, tidak dimaksudkan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, melainkan untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya menuju keadilan dan perdamaian di Bumi Cenderawsih.

Meski mengapresiasi kerja advokasi gereja di Papua yang sarat kekerasan, akademisi Australian National University (ANU) dan penggiat isu Papua, Hipolitus Wangge menilai, selama ini peran gereja memang belum cukup signifikan.

"Dari riset-riset yang pernah dilakukan sedikit banyak ditemukan bahwa memang kekerasan itu menjadi salah satu titik persoalan [di Papua] yang tidak pernah diselesaikan, dan kehadiran gereja di situ juga tidak banyak memberikan ruang buat penyelesaian-penyelesaian masalah," tutur Hipolitus kepada jurnalis ABC Indonesia, Hellena Souisa.

Hipolitus menambahkan, secara umum struktur gereja baik yang datang dari luar Papua atau tumbuh di Papua punya hirarki masing-masing tak jarang menjadi penyebab kerja yang kurang maksimal di masyarakat.

Ia menilai, dalam banyak hal gereja sebagai lembaga moral dan gereja sebagai lembaga kemanusiaan yang mengerjakan tugas advokasi tidak berjalan beriringan.

Akhirnya, menurut Hipolitus, banyak individu yang harus bekerja secara individu dengan embel-embel sebagai pastor untuk melakukan kerja-kerja advokasi kemanusiaan. Photo: Akademisi Australian National University (ANU) dan penggiat isu Papua, Hipolitus Wangge. (Supplied.)

 

"Dalam kasus Gereja Katolik, ada 147 pastor yang sudah cukup lama melakukan kerja advokasi, tetapi tidak mendapatkan ruang yang cukup ketika itu dibawa kepada struktur hirarki Gereja Katolik karena secara institusi Gereja Katolik kan sangat rigid, sangat hirarkis sekali," kata Hipolitus.

"Jadi kalau ada advokasi-advokasi tertentu itu justru mungkin akan dianggap membahayakan hubungan antara Gereja Katolik dan Pemerintah [Indonesia]."

Padahal, menurut Hipolitus, gereja yang dibutuhkan di Papua adalah gereja yang bukan hanya sebatas lembaga moral, tetapi yang juga bisa melakukan sesuatu yang nyata melalui aktivitas pendampingan meskipun jika ini dilakukan oleh Gereja Katolik, bisa berimbas ke persepsi Pemerintah.

Menanggapi sejumlah seruan yang disampaikan oleh para pastor di Papua kepada KWI, Hipolitus mengatakan, kecil kemungkinan akan ada langkah yang progesif dari KWI sehubungan dengan sikap terkait Papua.

"Setelah seruan itu pihak KWI sendiri melalui komisi-komisi terkait saya dengar masih melakukan pertemuan-pertemuan, kira-kira respon apa yang akan disampaikan ke publik dalam beberapa hari ke depan. Walaupun secara umum dan secara personal saya juga ragu apakah KWI punya persepsi yang sama dengan pastor-pastor yang bekerja di tanah Papua." Janji negara setiap hari HAM

Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Hari HAM Sedunia pekan lalu mengatakan, pemerintah mempunyai komitmen yang sama dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM dalam menjadi pilar penting Indonesia untuk menjadi bangsa yang beradab, lebih tangguh, dan maju.

"Pemerintah tidak pernah berhenti untuk menuntaskan HAM masa lalu secara bijak dan bermartabat. Kita harus bekerja sama menyelesaikannya, dan mencurahkan energi kita untuk kemajuan bangsa," ucap Jokowi.

Janji penuntasan kasus pelanggaran HAM ini dinilai oleh beberapa pengamat selalu menjadi materi pidato yang berulang setiap tahun.

Dalam pidato sepanjang 5 menit tahun ini, Presiden Jokowi tidak menyinggung soal Papua. Photo: Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Penembakan Intan Jaya di Intan Jaya, Papua. (Supplied: ANTARA/HO-Dok Humas Kemenko Polhukam.)

 

Padahal terkait Papua, KontraS melihat setiap bulannya selalu ada kasus pelanggaran HAM yang menimpa warga sipil.

Peneliti KontraS Arif Nur Fikri melaporkan catatan tersebut bahwa setidaknya terdapat 40 peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sejak Januari-November 2020 di Papua.

"KontraS mencatat selama hampir tahun 2020, itu setidaknya setiap bulan terjadi peristiwa kekerasan yang menimpa masyarakat Papua," kata Arif.

Sebanyak 40 kasus itu didominasi oleh kasus penembakan, penganiayaan, dan penangkapan sewenang-wenang oleh aparat.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Puncak Jaya di Papua Jadi Gletser Tropis Terakhir di Dunia, Tapi Terancam Punah

Berita Terkait