2 Polisi Pembunuh Laskar FPI Divonis Bebas, Chandra Memberi 3 Catatan

Sabtu, 19 Maret 2022 – 21:33 WIB
Terdakwa penembak anggota Laskar FPI Ipda M Yusmin Ohorella (kiri) dan Briptu Fikri Ramadhan (kanan) mengikuti sidang putusan yang digelar secara virtual di Jakarta, Jumat (18/3/2022). Majelis Hakim PN Jakarta Selatan memvonis bebas kedua terdakwa. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

jpnn.com, JAKARTA - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan memberikan tiga catatan merespons putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas dua terdakwa pembunuh Laskar FPI pada periistiwa KM50.

Dua terdakwa pembunuh Laskar FPI itu ialah Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan. Mereka divonis bebas dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Jumat (18/3).

BACA JUGA: Abdul Rochman Sebut Putusan Hakim Membebaskan 2 Pembunuh Laskar FPI Sudah Tepat

Majelis hakim berpendapat seluruh unsur dalam dakwaan primer jaksa terbukti, tetapi perbuatan dua terdakwa merupakan upaya membela diri sehingga tidak dapat dihukum dan dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Chandra dalam catatan pertama pendapat hukumnya menyatakan bahwa pembelaan darurat yang melampaui batas atau noodweer exces, dapat dilakukan dengan syarat memenuhi unsur, yaitu harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga.

BACA JUGA: Jokowi Cabut Subsidi Minyak Goreng Kemasan karena Peduli dengan Rakyat & Industri

"Jika tidak memenuhi unsur itu maka tidak dapat dilakukan pembelaan darurat yang melampaui batas," kata Chandra dalam pendapat hukum yang diterima JPNN.com, Sabtu (19/3).

Sebagai contoh, katanya, seorang pembegal sedang membegal untuk mengambil barang seorang aparat polisi, misalnya, kemudian si pembegal menyerang polisi tersebut dengan pisau belati.

BACA JUGA: Polisi Tembak Mati Herman, AKBP Rahman Wijaya Membentuk Tim Khusus

Dalam situasi itu, polisi itu boleh melawan untuk mempertahankan diri, sebab si pembegal telah menyerang dengan melawan hak.

Selanjutnya, serangan itu harus sekonyong-konyong atau mengancam ketika itu juga maka si polisi boleh menembak.

Namun, jika si pembegal itu dan barangnya itu telah tertangkap, maka polisi tersebut tidak boleh membela diri secara darurat yang melampaui batas dengan memukuli, menganiaya, menyiksa, dan menembak mati.

"Karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan sama sekali dari pihak pembegal, baik terhadap barang maupun orangnya," uujar Chandra.

Kedua, katanya, bahwa apabila santri pengawal habib tersebut telah ditangkap dan berteriak minta ampun, terlebih lagi, misalnya, mereka tidak mengetahui yang mengejar adalah aparat, maka dalam situasi itu polisi dilarang melakukan tindakan pembelaan diri yang melampaui batas misalnya sebagai contoh dengan menganiaya dan menembak.

Sebab, dia menilai dalam situasi unsur atau syarat serangan "...mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga" tidak terpenuhi.

BACA JUGA: 4 Fakta Pernikahan Beda Agama Stafsus Presiden Jokowi, Nomor 3 Bikin Meleleh

Dengan demikian, semestinya aparat mengedepankan proses hukum terhadap santri tersebut sebagaimana ketentuan pidana yang berlaku.

Proses hukum tersebut menurutnya sebagai cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law).

"Ketiga, bahwa apabila unsur-unsur sebagaimana yang saya jelaskan di atas tidak terpenuhi, lalu dijadikan pertimbangan untuk melepaskan terdakwa. Maka telah mencederai rasa keadilan masyarakat," ucap Chandra Purna Irawan. (fat/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler