jpnn.com, MATARAM - Dibukanya pendakian ke Gunung Rinjani pada 27 Agustus 2020 oleh Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) bersama Pemprov Nusa Tenggara Barat, menjadi pelepas dahaga bagi para pencinta alam terbuka.
Pasalnya, hampir dua tahun gunung itu tertutup untuk pendakian usai gempa bumi yang merusak sejumlah jalur pendakian ditambah dengan pandemi COVID-19.
BACA JUGA: Kabar Baik, Taman Nasional Gunung Rinjani Dibuka Kembali
Kali ini, memang agak berbeda dengan sebelumnya. Untuk pendakian tetap mengedepankan protokol kesehatan COVID-19. Seperti pendaki yang datang posko BTNGR di Sembalun Lawang harus mengecek suhu tubuh.
Kemudian pendaki dari luar Pulau Lombok harus menunjukkan surat Rapid Test dan keterangan sehat. Sedangkan pendaki dari lokal Lombok cukup menunjukkan surat keterangan sehat.
BACA JUGA: Sukarelawan Uji Vaksin Kena Covid-19, Kok Bisa?
Terlepas dari sejumlah aturan yang mau tak mau harus dipatuhi, Gunung Rinjani tetaplah memiliki magnet tersendiri untuk ditapaki oleh para pendaki. Mereka sudah sejak lama menunggu-nunggu dibukanya pendakian itu. Mereka tak bosan-bosannya datang ke gunung itu.
Gunung Rinjani memang memiliki keeksotikan tersendiri sejak awal pendakian dari Bauk Nau, Sajang, Lotim. Padang savana di awal pendakian pun sudah terasa.
BACA JUGA: Dicari, Rombongan Moge yang Ugal-ugalan di BSD, Diduga Dikawal Polisi
Sepanjang pendakian Gunung Rinjani terus mengikuti di mata. Jalinan punggungan gunung 'berotot' seolah-olah jari-jari raksasa yang menekan tanah. Padang savana terus mengikuti di kiri kanan.
Paling tidak hampir satu jam untuk mencapai Pos 1. Peluh membasahi sekujur badan karena pendakian yang harus dilakoni itu di pagi hari. Debu-debu yang ditapaki langkah kaki pun berterbangan.
Dari balik punggungan gunung terlihat atap seng yang tak lain dari Pos II hingga memacu langkah kaki untuk segera mendekati pos tersebut.
Hingga Pos III pemandangan masih serupa dengan kiri kanan padang savana. Waktu yang dibutuhkan dari Pos 1 ke 2 sekitar satu jam. Kemudian menuju Pos 3 sekitar 2 jam.
Menjelang pos 3, pendaki harus menuruni punggungan ke sungai berbatu hitam yang merupakan bukti dari hebatnya letusan dari gunung itu pada masa lalu, yakni, sisa lahar yang membatu.
"Ini jalur baru, seharusnya tinggal lurus saja, tapi ditutup karena rawan longsor pascagempa," kata salah seorang porter, Jhoni Iskandar yang akrab dipanggil Bang Jon.
Para porter dan Danau Segara Anak di Puncak Plawangan, Gunung Rinjani. Foto: ANTARA/Riza Fahriza
Menyusuri sungai itu, memang cukup merinding. Bukan apa-apa di sungai kering berukuran besar itu. Perlahan-lahan kabut menutupi jalur seperti akan memasuki pintu gerbang di dunia antah berantah.
Selepas Pos III, tantangan sesungguhnya di hadapan mata. Tanjakan ekstrem seolah-olah tak ada habis-habisnya. Mental dan fisik benar-benar diuji guna menagih janji mencapai Puncak Rinjani.
Kondisi demikian terjadi dari Pos IV menuju Plawangan. Pendaki harus melewati Tanjakan Penyesalan. Mungkin diberi nama itu, supaya pendaki tak menyesal. Ya sama sekali tak ada bonus untuk menarik nafas. Kemiringan 60 derajat harus dilewati.
Tapi jangan berkecil hati dahulu, jika menoleh ke belakang. Terpampang pemandangan indah. Untaian bukit tinggi melingkar, yakni, Bukit Pergasingan dan Bukit Anak Dara.
Sesekali angin mengusir kabut yang menutupi punggungan menuju puncak. Membuka tabir sesungguhnya keindahan Rinjani. Angin dari lembah yang naik ke punggungan gunung membuat diri terasa kecil di hadapan Allah SWT.
Jangan bangga dulu selepas melewati Tanjakan Penyesalan. Tiada ampun lagi, tanjakan serupa sudah menganga di hadapan mata. Tak ada rasa untuk menyerah, semua harus dilewati pendaki meski nafas tersengal-sengal.
Menuju Puncak Plawangan, tanjakan terjal dengan di kiri, jurang menganga. Harus membuat pendaki ekstra hati-hati hingga sampailah di Puncak Plawangan. Paling tidak membutuhkan waktu sekitar 3 jam lagi untuk mencapai puncak.
"Memang tak ada bosan-bosannya mendaki Gunung Rinjani ini. Saya pernah daki pada 2006, tapi selalu ingin datang lagi," kata seorang pendaki asal Kota Bandung yang saat ini menetap di Pulau Bali, Nurlaela Ramli.
Ia datang bersama suaminya Rifki Areadi yang sama-sama pendaki gunung dan anggota dari organisasi pecinta alam yang sama, Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) Palawa Universitas Padjadjaran (Unpad).
Dia mengaku keeksotikan alam dari awal pendakian sampai Plawangan dan Danau Segara Anak, menjadi daya tarik tersendiri.
"Tapi sayangnya pendakian kali ini kita masih dilarang untuk turun ke Danau Segara Anak," katanya.
Bahkan untuk mendaki juga, sesuai aturan hanya dibatasi dua hari satu malam saja. "Sayang saja, idealnya untuk ke Rinjani itu 3 hari 2 malam, puncak sampai danau akan tercapai semua," katanya.
Hal senada dikatakan oleh suaminya, Rifki Areadi, kalau pendakian diberi jatah 3 hari 2 malam, pendaki bisa naik dari Sembalun dan turunnya di Senaru, Lombok Utara.
"Jadi jatah 2 hari 1 malam, kita hanya bisa menikmati keindahan Rinjani sebentar aja," kata dia yang sebelumnya pernah mendaki Rinjani pada 1996.
Sementara itu, sejumlah pendaki mengkritisi soal penunjuk arah yang belum jelas, seperti menuju pos III dimana pendaki harus turun ke sungai. Namun penunjuk arah untuk naik ke punggungan hanya menyisakan plang berusia tua.
Sehingga banyak pendaki yang ragu-ragu untuk menaiki ke arah punggungan. Kemudian di persimpangan jalan selepas tanjakan penyesalan, tepatnya di hutan Cemara, penunjuk arah yang sudah tua membuat bingung pendaki.
Belum lagi dengan masalah sampah, menjadi hal yang klise. Memang perlu penyadaran kembali untuk pendaki untuk tidak meninggalkan sampah hingga mengganggu pemandangan mata.
Terlepas itu semua, Gunung Rinjani sudah memanggil. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti