Tepat pada hari ini, 20 tahun yang lalu mendiang Presiden Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden RI setelah berkuasa selama 32 tahun.

Momen ini setiap tahun diperingati sebagai puncak kemenangan gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat.

BACA JUGA: Australia Punya Domba Pedaging Unggul Baru Tanpa Perlu Dicukur

Sejauh mana pencapaian Indonesia setelah 2 dasawarsa? Berikut penuturan sejumlah mahasiswa dan aktivis dari era tersebut.Agung Wicaksono, mantan aktivis Mahasiswa ITB Photo: Agung Wicaksono, mantan aktivis mahasiswa ITB 1998 yang kini menjabat Direktur Operasi dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta. (Supplied: FB Agung Wicaksono by Wirendra Tjakrawedaja)

BACA JUGA: Masjid Terbaru Di Sydney Segera Dioperasikan

Apa yang anda lakukan di tahun 1998?

Tahun 1998 saya mahasiswa Teknik Industri ITB semester 5 - 6 dan kebetulan saat itu saya adalah Ketua Himpunan Keluarga Mahasiswa Teknik Industri. Saya waktu itu ditunjuk menjadi Sekjen dari Forum Ketua Himpunan Jurusan Keluarga Mahasiswa ITB atau FKHJKM ITB.

BACA JUGA: China Buka Kamp Indoktrinasi di Wilayah Muslim Xinjiang

Mengapa memutuskan terlibat dalam gerakan reformasi?

Meski berasal dari kampus ITB yang tidak terlalu kuat organisasi kampus yang lekat dengan politik atau ormas seperti HMI, GMNI atau KAMMI, pada 1998 kami semua turun ke jalan.

Karena ini sudah menjadi gerakan rakyat, gerakan moral dimana tekanan yang dihadapi rakyat akibat krisis ekonomi sudah sangat besar dan ketidakpercayaan pemerintah mampu menyelesaikan masalah ini sudah sangat kuat.

Sehingga kami mahasiswa ITB, ketika itu menyuarakan sikap tidak menerima kepemimpinan Soeharto menjelang sidang umum MPR 1998.

Tapi ternyata Soeharto tidak mau mendengar dengan tetap menjadi Presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1998  bahkan ia membentuk kabinet yang banyak kroni-kroninya.

'Dan yang menariknya meski ketika itu Menteri Pendidikan yang ditunjuk Soeharto ketika itu adalah Rektor ITB, tapi itu tidak mempengaruhi tuntutan kami.

Jadi kalau istilahnya mahasiswa sekarang memberi kartu kuning pada pemerintah, kami ketika itu tetep memberi kartu merah pada Soeharto. Kami tetap menolak Soeharto.

Bagaimana anda melihat kegiatan di tahun 1998 itu dengan apa yang terjadi di Indonesia tahun 2018?

Bagi saya pribadi kita tidak boleh puas dengan pencapaian Indonesia saat ini setelah 20 tahun reformasi, tapi kita tetap harus optimis karena Republik Indonesia itu masih tetap berdiri. Kita masih menjadi bangsa dalam satu bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Tidak ada disintegrasi dan separatisme yang membuat kita tercerai berai seperti beberapa negara yang juga mengalami krisis juga ketika itu tapi harus keluar dari krisis tersebut dengan tidak lagi menjadi negara mereka sebelumnya seperti Yugoslavia atau Uni Sovyet.

Ketika itu berkembang pesimisme kalau NKRI akan sulit dipertahankan dan Indonesia akan selesai karena pemerintahannya yang tidak bisa dipercaya dan negara kita juga diterpa krisis yang begitu kuat. Apalagi kita sangat beragam dan majemuk.

Tapi ternyata dengan reformasi kita mampu menyuarakan perbaikan diberbagai sistem mulai dari pembenahan ekonomi, menghentikan korupsi dan menjahit lagi keberagaman kita lewat desentralisasi.

Sistem otonomi daerah telah memungkinkan semua aspirasi pada 1998 disuarakan dalam bingkai NKRI.

Itulah Makna reformasi yang sesungguhnya menurut saya.

Tapi saya juga setuju kalau masih ada banyak juga agenda reformasi yang belum tercapai, oleh karena itu menurut saya slogan 'Menolak Lupa' itu menjadi penting.

Apa yang anda lakukan sekarang? Photo: Agung Wicaksono berorasi dalam salah satu aksi mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1998. (Supplied: Instagram@agungwicak_mrtj by Wirendra )

Saya sekarang diamanahkan menjadi Direktur PT MRT Jakarta. Salah satu proyek infrastruktur transportasi yang sangat kritis untuk mengatasi kemacetan di ibukota.

Sekarang kalau bicara mengenai infrastruktur, sebenarnya saat ini eranya mirip dengan era pada masa Soeharto yang dikenal sebagai Bapak Pembangunan, dimana era sekarang ini juga banyak sekali dilakukan pembangunan infrastruktur.

Bedanya, pada era Soeharto pembangunan dilakukan tanpa memperhatikan prinsip tata kelola yang baik dan proyek ini dilakukan oleh si A yang merupakan kroni Soeharto atau pembangunan ini dilakukan semata-mata untuk kepentingan si B.

Saat ini eranya sudah berubah, tidak lagi semudah itu penguasa melakukan abuse of power. Segala sesuatunya sekarang harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip tata kelola.

Proyek seperti MRT misalnya itu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan keterbukaan dan ini dimungkinkan karena ekosistemnya sudah berubah berkat reformasi.Lia Nathalia, Aktivis Forum Kota (Forkot) Photo: Lia Nathalia, aktifis Forum Kota (FORKOT) dari Universitas Kertanegara Jakarta (Supplied: Lia Nathalia)

Seperti apa kehidupan Anda sebagai mahasiswi 20 tahun lalu?

Situasinya ketika itu tidak sebebas sekarang, bayangkan rezim Soeharto bisa menangkap orang tanpa bukti. Kalau ditangkap pasti hilang dan saat itu banyak terjadi penculikan aktivis. Kami melakukan rapat sembunyi-sembunyi dan harus steril. Peserta rapat tidak boleh mencatat apapun yang dibahas dalam rapat itu, tidak boleh mencatat nomor kontak teman. Ini dilakukan untuk mengantisipasi penyusup.

Lantas apa yang menjadi tugas Anda?

Tahun 1998 saya menjadi perwakilan kampus saya di Forum Kota yang harus datang pada rapat strategis dan pembahasan aksi.

Menurut Anda apakah setelah 20 tahun, seluruh tuntutan mahasiswa saat itu sudah tercapai?

Sejumlah tuntutan tercapai, tapi bukan seperti yang diinginkan. Soeharto mengundurkan diri tapi menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, BJ Habibie. Dan BJ Habibie membelah gerakan mahasiswa. Tuntutan kedua mahasiswa cabut dwi fungsi ABRI itu juga tercapai.

Walaupun situasi hari ini ada kemungkinkan lagi keterlibatan militer dalam politik.

Tuntutan agar Golkar dibubarkan tidak tercapai... ternyata Golkar masih berkuasa. Apalagi sekarang kita harus mewaspadai kembalinya keluarga cendana ke dunia politik.

Bagaimana Anda melihat gerakan mahasiswa saat ini? Photo: Aksi mahasiswa Forum Kota atau Forum Komunitas Mahasiswa se-Jabodetabek atau Forkot adalah salah satu organ gerakan mahasiswa Indonesia pada 1998. (Wikipedia)

Saya merasa angkatan 98 gagal melakukan regenerasi. Sehingga saat ini gerakan mahasiswa sifatnya sporadis dan kadang alasan mereka melakukan aksi juga tidak kuat dan tidak logis. Dan bahkan terkesan dilakukan karena kepentingan politik satu pihak bukan lagi memperjuangkan rakyat.

Hal lain yang mempengaruhi kondisi gerakan mahasiswa saat ini juga adalah pemerintah pasca reformasi dari mulai Presiden BJ habibie itu tidak memberikan sikap politik dan jargon politik.

Pada zaman ORBA misalnya kita mengenal jargon politik berupa agenda Pembangunan bertahap Lima Tahun atau PELITA.

Setelah reformasi tidak ada sama sekali agenda nasional seperti itu, pemimpin yang muncul sibuk mempertahankan kekuasaan.

Akhirnya generasi yang lahir setelah 98 atau generasi millennial menjadi kehilangan arah politik. Mereka tidak tahu sejarah dan tidak punya pegangan politik.

Seberapa penting generasi muda mengetahui sejarah 1998?

Kalau kita tahu sejarah dan budaya setidaknya bisa membangun jembatan penghubung untuk mempersempit kesenjangan antara generasi milenial. Jadi saya berharap dengan memiliki rasa bangga dan pengetahuan mengenai budaya negaranya sendiri, mereka akan punya kesadaran untuk berbuat sesuatu untuk negaranya.Usman Hamid, Mantan Ketua Senat FH Trisakti Photo: Usman Hamid, Direktur Amnesty Internasional Indonesia, pada 1998 adalah ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan kemudian ikut dalam Tim Gabungan Pencari Fakta Tragedi Trisakti. (Tribun News)


Apa yang anda lakukan di tahun 1998?

Tahun 1998 saya mahasiswa semester 5 di Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti Jakarta. Saya ketika itu menjabat sebagai Ketua Studi Pendalaman Islam di FH Trisakti dan pada 1998 saya terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa FH Trisakti.

Mengapa memutuskan terlibat dalam gerakan reformasi ketika itu?

Awalnya lebih karena percakapan di dalam rumah bersama ibu saya yang saat itu juga mulai tergerak melakukan tindakan dalam membantu masyarakat yang kesulitan membeli sembako. Dan kebetulan rumah kami menjadi markas tempat ibu-ibu kelas menengah ke bawah berkumpul. Bersama mahasiswa FH Trisakti kami melakukan aksi sosial bagi-bagi sembako dan lain-lain.

Pada saat yang sama karena krisis ekonomi semakin buruk, saya jadi sering hadir di acara-acara mimbar bebas yang ketika itu marak dilakukan di kampus-kampus.

Pada awalnya, aksi yang kami lakukan itu masih lebih bersifat moralis, jadi kritik-kritik yang kita lakukan masih sopan. Tuntutan kita waktu itu masih seputar turunkan harga sembako, turunkan harga BBM.

Sampai akhirnya ada beberapa teman yang tiba-tiba punya ide bukannya memelesetkan tuntutan turunkan harga, menjadi turunkan Harto dan keluarga. Tuntutan itu muncul pada tanggal 12 Mei ketika itu ada seorang mahasiswa yang membawa gambar Soeharto dan kemudian membakarnya.

Dimana anda saat peristiwa Tragedi Trisakti yang menewaskan 4 mahasiswa Trisakti terjadi? Photo: Setiap tahun mahasiswa Trisakti melakukan aksi peringatan Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 menuntut menuntut pemerintah segera menuntaskan kasus penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti. ( TRIBUNNEWS/HERUDIN-2013)

Pada saat peristiwa penembakan oleh aparat ke kampus Trisakti, saya sendiri waktu itu sudah pulang, karena acara aksi unjuk rasanya sudah selesai karena sudah sore kita sepakat untuk bubar.

Tapi ternyata ketika saya dalam perjalanan pulang ke rumah itu terjadi ketegangan sampai akhirnya terjadi penembakan.

Karena saat itu belum ada HP atau media sosial, baru setelah magrib saya ditelpon teman.

Jadi saya hari itu hanya bisa memantau keadaan lewat telpon rumah, karena hari itu juga kami tidak bisa masuk ke kampus lantaran kampus sudah dikepung aparat.

Baru keesokan harinya kami bisa ke kampus, tapi kami masih sempat melihat darah berceceran di mana-mana.

Pasca tragedi Semanggi itu karena saya menjabat sebagai Ketua Senat FH Trisakti maka saya ikut juga dalam tim gabungan polisi dan militer yang melakukan uji balistik dari proyektil peluru yang ditembakan dalam Tragedi Trisakti.

Bagaimana anda melihat kondisi di tahun 1998 itu dengan apa yang terjadi di Indonesia tahun 2018?

20 tahun berlalu sejak reformasi, saya melihat ada banyak perubahan yang mengagumkan berlangsung di Indonesia. Di bidang politik misalnya Indonesia berhasil menyelenggarakan Pemilu langsung yang relative aman dan damai tanpa interupsi kudeta militer seperti di Thailand atau Mesir, dan juga tanpa perang saudara.

Tapi sayangnya, tepat setelah 20 tahun justru saya melihat terjadi kemunduran di Indonesia.

Ada sejumlah peristiwa kontroversial pada tahun lalu dimana ada sejumlah upaya dari partai politik dan elit politik yang mengkampanyekan nilai-nilai konservatif dan nasionalisme yang berlebihan.

Kekalahan elektoral Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok dan diikuti oleh kasus pemenjaraannya serta dampak lanjutannya itu mengandung bahaya yang berbau Orde Baru yakni potensi ancaman yang bersifat rasis dan diskriminatif.  

Sehingga banyak ilmuwan politik mulai dari Marcus Mietzner (ANU)  akhirnya sampai pada kesimulan bahwa pada tahun ke-20 ini tidak bisa disangkal lain kalau demokrasi Indonesia mengalami kemunduran.

Kesimpulan ini dikuatkan oleh sejumlah temuan indeks demokrasi di Indonesia. Majalah The Economist, menyimpulkan Indonesia mengalami kemerosotan khususnya pada proses electoral dan pluralisme, dimana terjadi intoleransi politik dalam pemilu dan terhadap calon pemimpin di luar Islam.

Demikian juga Indeks Demokrasi oleh lembaga Freedom House, AS yang bahkan menyatakan kemunduran demokrasi di Indonesia telah terjadi sejak tahun 2013 dimana lembaga ini menempatkan Indonesia pada status separuh bebas kembali setelah sebelumnya dari 2006 -2012 berstatus bebas penuh.

Apakah anda puas dengan pencapaian sejauh ini?

Saya punya perasaan bercampur, tapi yang pasti kerusakan yang diwariskan oleh sistem otoritarianisme Orba itu baru kita perbaiki selama 20 tahun terakhir atau baru berjalan  2/3 perjalanan saja. Oleh karena itu kita masih perlu kerja lebih keras, leih sabat dan lebih baik lain dalam memperbaiki kerusakan tersebut.

Apa yang patut disyukuri dari reformasi sejauh ini?

Saya kira yang harus disyukuri dari reformasi adalah kemampuan kita dalam melihat kenyataan. Meski sebagian ada yang menilai seolah-olah sekarang ini negara kita jadi menghadapi lebih banyak masalah daripada jaman Orba.

Ini pandangan yang keliru, karena bukan berarti kita tidak punya masalah di zaman Orba dulu, tapi kemampuan kita untuk melihat masalah itu tidak ada karena kemampuan itu ditutup. Tidak ada kebebasan informasi, tidak ada keterbukaan dan tidak ada ruang untuk berpartisipasi seperti yang kita saksikan hari ini.Yuniyanti Chuzaifah, aktivis Suara Ibu Peduli (SIP) Photo: Menurut Yuniyanti Chuzaifah ada beberapa mimpi politik yang tidak sesuai semangat reformasi (ABC News: Iffah Nur Arifah)

Apa yang Anda lakukan di tahun 1998?

Waktu itu saya manajer pengembangan perserikatan di LSM Solidaritas Perempuan (SP). Makanya saya intens ikut rapat yang kemudian melahirkan Suara Ibu Peduli (SIP). Saya juga salah satu dari 15 orang perempuan yang turun ke jalan melakukan aksi unjuk rasa menetang kenaikan harga susu pada 23 Februari 1998 di Bundaran Hotel Indonesia (HI) ditengah situasi yang represif dan akhirnya beberapa rekan diambil petugas dan disidangkan.

Mengapa Anda terlibat saat itu?

Gerakan Suara Ibu Peduli (SIP) mengangkat isu kenaikan harga susu itu sebetulnya strategi. Kita ingin membuat orang sadar bahwa untuk memenuhi kebutuhan bayi sekalipun [susu], negara tidak bisa menyediakan. Saya ingat, sehari setelah penembakan Trisakti, suasana jalanan mencekam, aksi bakar ban ada dimana-mana dan petugas berjaga ketat sebelum akhirnya terjadi pembakaran dan penjarahan. Saya dan beberapa teman dari SIP ada di dalam ambulans berisi makanan dan berusaha menerobos masuk ke kampus Trisakti... kaena mahasiswa Trisakti tidak bisa keluar akibat kampusnya di blockade. Photo: Cuplikan gambar artikel di surat kabar yang memberitakan aksi kelompok perempuan Suara Ibu Peduli (SIP) di Bundaran Hotel Indonesia pada 1998 yang menuntut pemerintah menurunkan harga susu dan sembako yang melambung tinggi ketika itu. (Situs Yayasan Jurnal Perempuan/JP )

Jadi apakah Anda hanya bagikan nasi?

Rekan-rekan aktivis perempuan tidak ingin gerakan kami hanya dikenang dalam sejarah dengan aksi bagi-bagi nasi dan susu, karena itu kami juga menyuarakan tuntutan yang bersifat politis. Saya ingat, bersama rekan Nursyahbani Katkasungkana membuat rancangan tuntutan kaum perempuan. Dan gerakan perempuan, termasuk kelompok yang awal, menyerukan tuntutan adili Soeharto dan kroni-kroninya dan tuntutan itu dibacakan di DPR oleh Nursyahbani.

Bagaimana Anda melihat kondisi perempuan saat ini dibandingkan 20 tahun lalu?

Pasca reformasi yang penting dan menarik adalah semakin banyaknya gerakan perempuan di komunitas. Perempuan punya organisasi, bahkan berbicara di PBB, rekan pembantu rumah tangga membuat gerakan juga berogranisasi, petani perempuan.

Ini salah satu pencapaian reformasi yang harus dirawat.

Tapi sekarang terjadi beberapa kemunduran, misalnya muncul gerakan fundamentalisme yang memiliki mimpi politik menjadikan Indonesia ke arah yang tidak sesuai dengan semangat reformasi. Catatan Komnas perempuan menemukan ada 4021 kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan pasca reformasi.Oslan Purba, mantan aktivis mahasiswa USU, Medan Photo: Oslan Purba, mantan aktivis 98 dari FISIP USU kini aktif Kepala Departemen Pengembangan Program dan PME, Walhi Nasional. (ABC News - Iffah Nur Arifah)

Apa yang anda lakukan pada tahun 1998?

Tahun 1998 saya mahasiswa semester 10 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISI) Universitas Sumatera Utara (USU). Setelah selesai menjabat sebagai ketua umum komisariat HMI FISIP USU pada pertengahan tahun 1997, saya aktif di kelompok studi Bina Independesia.

Waktu itu banyak muncul kelompok studi, karena organisasi intra dan ekstra kampus itu dipandang sebagai underbownya rektorat atau kampus dan kampus itu mengabdi pada kekuasaan.

Kelompok studi ini juga dekat dengan LSM jadi kita intens berdiskusi mengenai ideologi dan mengkritisi kebijakan Soeharto.

Mengapa memutuskan terjun dalam gerakan reformasi?

Kita di FISIP USU sejak temu ramah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pertama sudah diajarkan politik dan saya juga sering berdiskusi dengan LSM tentang kondisi negara.

Jadi sudah tertanam dalam diri saya kalau memang ada yang tidak benar dengan negara ini dan muncul dalam diri saya keinginan untuk melakukan perubahan.

Makanya ketika itu, saya dan teman-teman memang sudah siap saja. Gak tau kenapa muncul keberanian untuk demo, mau ada ancaman ditembak dan diculik, tapi kami berani aja.

Ketika itu, mahasiswa di Medan sebenarnya gak terlalu yakin juga Soeharto akan turun setelah Pemilu dan apalagi dia kemudian naik lagi jadi Presiden pada 98. Jadi aksi kami saat itu hanya berusaha mengkritisi kepemimpinannya saja.

Tapi belakangan muncul berbagai dukungan politik seperti Amien Rais, Akbar Tanjung orang Golkar yang ketika itu juga mulai berubah haluan, ada Megawati yang kepemimpinannya tidak diakui, hingga Gusdur dan NU juga mulai bergerak, jadi semakin kuatlah keinginan untuk menggulingkan Soeharto.

Semakin lama pergerakan di kampus kian menguat dan pasca munculnya forum rektor, barulah kampus-kampus full bergerak. Dan Amien Rais yang terutama rajin keliling mengorganisir dan dia juga sempat datang ke USU.

Lalu di USU juga pertama kali meledak kerusuhan. Awalnya terjadi penembakan terhadap mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa di simpang kampus Jln, Dr Mansur Medan.

Sejumlah sepeda motor dibakar dan kerusuhan ini kemudian meluas di kampus-kampus lain. Hingga terjadi peristiwa Semanggi di Jakarta dan mahasiswa merangsek ke DPR.

Di daerah, mahasiswa juga mendatangi DPRD hingga akhirnya terjadi kerusuhan penjarahan di mana-mana. Dan tidak berapa lama kemudian pada 21 Mei Soeharto menyatakan mengundurkan diri dan menunjuk Habibie sebagai penggantinya. Photo: Amien Rais bersama massa aksi mahasiswa di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan pada 1998. (Facebook: Elvi Sumanti)

Apakah kondisi Indonesia saat ini sesuai dengan yang anda bayangkan 20 tahun lalu?

Indonesia saat ini sangat jauh dari impian saya tahun 1998.

Pasca reformasi, sejumlah perbaikan memang dilakukan, misalnya dibentuknya komnas HAM, terbit TAP MPR soal korupsi Soeharto dan kroni-kroninya, ada juga perbaikan tata kelola pemerintahan di pusat dan daerah, tapi semua perubahan itu tidak berlangsung lama.

Orde Baru (Orba) sebagai kekuatan lama mulai muncul lagi dan merekonstruksi ulang kekuasaanya. Walaupun memang, pelaku utamanya yakni keluarga Cendana sudah tidak mendapat ruang lagi di publik. Tommy Soeharto misalnya sekarang muncul lagi dengan parpol Berkaryanya yang baru, tapi saya memprediksi tidak akan terlalu signifikan dalam pemilu mendatang.

Seperti apa Indonesia yang anda bayangkan ketika itu?

Dulu sederhananya, saya membayangkan pertama ekonomi kerakyatan akan lebih didukung, kapitalisme dan modal asing bisa dikurangi.

Masyarakat harus mendapat ruang lebih besar dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA) alias pengelolaan SDA dikuasai pribumi. Tapi sekarang kenyataannya tidak, modal asing masih mendominasi pengelolaan SDA kita.

Kita semua pada 98 menginginkan semua pengelola negara tidak korupsi lagi, karena Soeharto dan partai politk serta kroninya itu sudah banyak sekali korupsi. Saat ini memang kita punya KPK, tapi lambat laun kita mulai menyangsikan benar tidak sih KPK tidak tebang pilih?

Kita juga dulu ingin tentara kita professional dan fokus menjaga NKRI. Begitu juga polisi fokus menjadi pengayom dan pelindung masyarakat. Tapi sekarang kita lihat, sejumlah petinggi militer malah ada yang ingin jadi Presiden, jadi gubernur dan masuk ke pos-pos di pemerintahan.

Faktanya dari 17 propinsi yang menggelar pilkada tahun ini, hampir 50% kandidatnya memiliki latar belakang mantan tantara atau polisi.

Jadi, jujur saya kecewa banget, tapi saya tetap optimistis.

Apa kiprah anda sekarang?

Saya saat ini menjabat sebagai Kepala Manager Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial di Dewan Eksekutif Nasional Walhi.  Setelah urusan politik selesai dan gerakan mahasiswa digiring kembali ke kampus, saya merasa gerakan mahasiswa sudah disingkirkan dan sudah selesaim sehingga saya memutuskan untuk pindah haluan.

Saya lalu membentuk Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Sumatera Utara. Saya mulai menyuarakan berbagai isu HAM di Sumatera dan Aceh khususnya.

Setelah pindah ke Jakarta, saya kemudian bergabung dengan Walhi. Sebuah NGO lingkungan dengan jaringan luas di berbagai wilayah di Indonesia.Eko Maryadi, mantan jurnalis Tabloid Independen AJI Photo: Eko Maryadi, Ketua Southeast Asian Press Alliance (SEAPA), organisasi pers Asia Tenggara.  (ABC News - Iffah Nur Arifah)

Apa yang anda lakukan pada tahun 1998?

Tahun 1998 Saya bekerja sebagai wartawan untuk Washington Post di Jakarta.

Saya ingat pada 21 Mei 1998, saya sedang meliput aksi mahasiswa yang menduduki DPR dan saat itu saya sedang ada di warung di bagian belakang DPR. Kebetulan di warung itu ada televisi yang sedang menyiarkan secara langsung Soeharto membacakan surat pengunduran dirinya.

Ketika itu sontak orang langsung bersorak gembira dan dari jauh saya dengar suara-suara mahasiswa di kubah DPR bersukacita merayakan kemenangan mereka.

Anda turut terlibat dalam produksi Tabloid Independen yang banyak menjadi bahan bakar bagi gerakan menggulingkan Soeharto, bagaimana bisa terlibat?

Tahun 1994 saya memutuskan untuk meninggalkan kuliah saya di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung ketika itu saya semester 6 atau 7 dan aktif di pers mahasiwa Gema Padjajaran.

Saya bertekad untuk menjadi jurnalis, makanya saya pergi ke Jakarta untuk melamar kerja di Tempo. Bulan Februari atau Maret saya diterima di Pusat Data Tempo. Di kartu pers saya tertulis CAREP atau Calon Reporter.

Ketika saya sedang senang-senangnya bekerja untuk Tempo, empat bulan kemudian Majalah Tempo di Bredel.

Di internal Tempo terbagi menjadi dua kelompok, ada yang memutuskan membuat majalah baru yang kemudian didanai oleh Bob Hasan mendirikan Majalah Gatra, tapi ada juga kelompok yang menentang pembredelan itu. Kelompok ini dimotori tokoh-tokoh senior pers ketika itu seperti Gunawan Muhammad, Eros Djarot, Aristides Katoppo.

Mereka ini yang kemudian pergi ke Wisma Tempo di Sirnagalih dan mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Bagaimana Anda bisa ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim Soeharto? Photo: Almarhum Ahmad Taufik (menggendong putra pertamanya) dan Eko Maryadi di Penjara Salemba, 1995. (Anonim)

Tidak lama setelah berdiri AJI menerbitkan tabloid ilegal Independen dan ketika iti AJI membutuhkan reporter untuk menjalankan tabloid Independen itu. Saya diajak untuk terlibat.

Tabloid Independen ini dirancang sebagai tabloid perlawanan komunitas Pers. Jadi kami hendak menunjukan begini loh pers yang bebas itu. Kita bisa mengkritik Soeharto, kita juga mengkritik Harmoko Menteri Penerangan ketika itu yang memalaki seluruh perusahaan media dan meminta saham 5% untuk mendapatkan Surat Ijin Usaha Percetakan dan Penerbitan (SIUPP).

Dan Tabloid Independent ketika itu didukung oleh banyak jurnalis di berbagai daerah yang juga melawan sikap represif pemerintah terhadap pers.

Wartawan saat itu menulis berita dalam 2 versi. Satu versi adalah naskah berita yang sudah dihaluskan dan ini yang diterbitkan oleh media mainstream ketika itu. Sementara satunya lagi versi naskah berita apa adanya, inilah yang kami terbitkan.

Jadi karena ditulis apa adanya, publik jadi benar-benar mendapat informasi yang sesungguhnya. Itulah kenapa kemudian Tabloid Independen meledak bahkan sampai di foto kopi.

Dan karena itu juga kantor kami digerebek aparat,saya dan teman saya almarhum Ahmad Taufik ditangkap dan Danang, office boy yang tinggal di kantor AJI ketika itu.

Kami dianggap menerbitkan dan menyebarkan publikasi tanpa izin atau tanpa SIUPP yang isinya mengkritik pemerintah.

Saya bersama teman saya Ahmad Taufik (almarhum) divonis 3 tahun penjara, sementara Danang di vonis 1,5 tahun penjara.

Bagaimana situasi pers di Indonesia saat ini pasca 20 tahun reformasi?

Apa yang saya dan teman-teman AJI lakukan pada tahun 1998 adalah untuk memperjuangkan agar pers bisa menjadi pilar keempat dalam sistem demokrasi. Dan itu sudah terjadi saat ini.

Jadi jika 20 tahun lalu , pers yang kita tahu hanya menjadi corong pemerintah,  hari ini kita lihat sendiri bagaimana bebasnya pers mengkritik pemerintah, dan tidak ada lagi kasus wartawan yang masuk pejara atau ditangkap. Ini sebuah kemajuan.

Tapi selain mencapai kemajuan, saat ini kita juga dihantui oleh masalah lain yakni munculnya kekuatan kelima yaitu public melalui media sosial.

Jika wartawan dalam konteks kebebasan pers, diatur atau dibatasi keterbatasan itu bukan bedengan kewajiban memenuhi kode etik, tidak demikian halnya dengan public dan aktifis media sosial.

Jadi saya melihat yang terjadi bukan kebebasan pers yang kebablasan  tapi kebebasan berekspresi saat ini telah melampaui batas etika, batas profesionalitasm batas kepatutan dan kebebasan dalam hidup berdemokrasi.

Apakah ini mengancam kekebebasan pers ke depan?

Dan dalam beberapa isu situasi ini mengancam misalnya isu intoleransi dan pluralisme sekarang orang yang memperjuangkan pluralisme dianggap sebagai orang yang liberal.

Saya melihat adal tiga pihak yang berkeinginan membajak kebebasan pers di Indonesia, satu politikus dan aparat korup. Mereka akan melakukan apa saja agar kepentingan mereka tidak dikritik pers bebas, dan mereka ingin pers dikendalikan pemerintah dan diatur pemerintah. Atau dengan cara lain mereka membayar media dan jurnalis melalui modal. Dan ketiga kelompok yang sering mengatas namakan agama dan keyakinan untuk melakukan persekusi pihak lain dan kebebasan pers juga turut dibajak oleh ISIS misalnya untuk menyebarkan paham radikal mereka.

Tantangannya pers ke depan?

Ini harus kita sikapi bersama oleh jurnalis dan kantor media dengan perlu menerapkan sistem standar filter dari pemberitaan yang dapat melanggar prinsip akurasi, privasi, kepatutan.

Dan berhenti menyebarkan informasi yang mengandung ujaran yang mempromosikan sikap radikal dan intoleransi.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bekas Neo-Nazi Kembali ke Australia Setelah Perang di Ukraina

Berita Terkait