22 Tahun Reformasi, KPK Diserang 'Pandemi Dependen'

Minggu, 24 Mei 2020 – 19:10 WIB
Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Jayabaya – Jakarta, Thomas Tukan. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Lembaga yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), asal muasalnya lahir dari momentum Reformasi. Tidak dipungut, bukan anak angkat, diadopsi atau ditirikan. Tetapi benar-benar anak kandung Reformasi.

Hadir dan tumbuh atas semangat “independensi” memberantasi korupsi Indonesia. Men-trigger lembaga-lembaga penegakan hukum lainnya yang sedang tidak dipercayai publik.

BACA JUGA: Respons Petrus Selestinus Tentang Ancaman Hukuman Mati Kepada Pelaku Korupsi Anggaran Covid-19

Independensi merupakan identitas atau gen sejak lembaga ini dilahirkan. Olehnya tidak bisa dihilangkan. Sebab menghilangkan genetiknya sama dengan membunuh identitas, membuat mati karakter lembaga itu.

Kalaupun masih hidup, maka dia tidak lebih dari “mesin”. Membutuhkan remot kontrol agar tetap bisa bergerak. Tidak berlebihan, tetapi begitulah kira-kira KPK sekarang!

BACA JUGA: Anggota Polres Sikka Diduga Lakukan Perbuatan Terlarang, Begini Respons PMKRI Maumere

Mandat independensi itu ada dalam Undang-Undang KPK yang lama, yang dahulunya berulang kali digoyang dan diuji oleh mereka yang merasa terganggu dengan KPK. Bahkan pada 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya kembali menegaskan independensi tersebut.

MK menolak gugatan, dengan alasan karena objek penyelidikan KPK adalah lembaga eksekutif makanya KPK tidak boleh tunduk pada pemerintah dan harus independen.

BACA JUGA: Sah! Ny. Veronica Yudo Margono Dikukuhkan Sebagai Ibu Taruna AAL dan Pembimbing Kowal

Apa boleh buat, KPK hari ini tunduk di bawah eksekutif. Revisi undang-undang itu melukai hati rakyat, yang 22 tahun lamanya setelah Reformasi, menjaga dan memeluk erat tiang independen KPK agar tidak patah.

Dahulu lembaga antikorupsi dunia menaruh harapan kepada KPK. Sekarang itu sudah tidak lagi. Bahkan diragukan keefektifannya. Tahun 2019 KPK mendongkrak capaian Indonesia dengan poin yang cukup tinggi urutan keempat dari negara-negara di Asia. Bahkan di tahun yang sama Transparency International telah memberikan catatan kepada KPK karena tidak memiliki otonomi dan kekuatan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini sebagai akibat dari pelemahan yang dilakukan oleh pemerintah melalui Undang-Undang KPK yang baru.

Bila diperas intisari pendapat publik hari ini, maka paling tidak sorotan terhadap KPK setelah komisioner baru dilantik adalah integritas dan kinerjanya. KPK nyaris tidak kedengaran gaungnya di tengah situasi pandemi ini.

Sebagai lembaga pengawas dan pemberantas korupsi, andil KPK hilang “dikarantina mandiri” oleh politik kekuasaan. Mungkin KPK juga ikut terjangkit ketakutan Covid-19. Ataukah tengah melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan kasus-kasus korupsi. Atau mungkin saja KPK sedang jaga jarak (physical distance) dengan para koruptor.

Kita hanya menebak! Sebab hingga detik ini, KPK tidak pernah tampil berbicara. Ketika Perppu No. 1 Tahun 2020 disahkan menjadi UU, menjadikan negara superbody dan kebal hukum atas penggunaan anggaran. Ketika polemik dana dan mekanisme kartu prakerja bagai korupsi di siang bolong. Ketika Undang-Undang Minerba dipaksakan sah oleh DPR yang mengancam potensi korupsi perizinan. Ketika Omnibus Law yang sarat pasal-pasal korupsi dipaksa pembahasannya di tengah rakyat berperang melawan pandemi.

Dimana KPK ketika negara terang benderang melakukan sederetan korupsi kebijakan ini? Bukankah itu juga adalah tugas pencegahan korupsi bila KPK bersuara tegas?

Indeks persepsi korupsi di tahun 2020 dengan kondisi sekarang sepertinya stagnan. Kita bisa lihat dari Desember 2019 hingga Mei 2020, baru dua kasus yang ditangani KPK. Itupun mandek sampai hari ini. Tidak cukup gencar seperti KPK sebelumnya.

Kita bisa lihat sederetan dilematis dan problem. Misalnya penyegelan terhadap kantor PDIP, Kejadian penahan penyidik KPK di PTIK, menggantungnya kasus Harun Masiku, pemanggilan saksi maupun tersangka korupsi yang bisa menunjuk ke pihak lainnya, hingga komisioner KPK yang sering bersafari ke lembaga-lembaga negara. Bahkan saat KPK disorot publik malah ketua KPK mempertunjukkan masakan nasi goreng ke hadapan jajaran KPK.

Persepsi masyarakat menjadi lemah terhadap KPK. Berdasarkan survei Alvara Research Center, pada Agustus 2019 merilis kepuasan publik KPK berada di posisi kedua tertinggi. Sedangkan pada Februari 2020 turun berada di peringkat kelima.

KPK seperti bangunan borobudur, enak dilihat tetapi kerjanya kurang. Akan semakin banyak terjadi kejahatan korupsi karena tidak ada rasa ketakutan yang dimiliki oleh pihak yang membuat korupsi. Bila saya disuruh memilih, lebih baik aparatur nya jelek tetapi hukumnya baik. Dari pada hukumnya jelek namun aparatur nya baik. Namun yang kita hadapi sekarang, saya tidak mengatakan jelek, tetapi aparatur dan hukumnya sama-sama diprotes oleh publik.

Itulah KPK bila independensinya ditempatkan di bawah dominasi eksekutif. Itulah KPK bila komisionernya dipilih dengan syarat kepentingan. Itulah KPK bila undang-undangnya dibuat hanya berdasarkan absensi kehadiran sidang DPR saja, dan mengabaikan hak partisipasi respons publik.

Itulah KPK ketika pemimpin tidak mampu mempertimbangkan dan membaca suasana kebatinan publik yang luas. Maka jadilah KPK yang positif terinfeksi “pandemi dependen”. KPK yang kehilangan semangat Reformasinya!

Selamat 22 tahun Reformasi!

 

Penulis asalah Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Jayabaya – Jakarta


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler