24 Tahun Lalu Ada Insiden Berdarah di Markas PDI, tetapi Megawati Tak Ajarkan Balas Dendam

Senin, 27 Juli 2020 – 13:13 WIB
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pada pembukaan Sekolah Pimpinan Dewan Provinsi, Kabupaten/Kota Gelombang I di Depok, Jawa Barat, Jumat (22/11). Foto: Ricardo/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada hari ini (27/7) memperingati peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996.

Peristiwa berdarah yang juga dikenal dengan sebutan Kudatuli atau Sabtu Kelabu itu bermula ketika kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat diserbu oleh massa yang menentang kepemimpinan Megawati Soekarnoputri.

BACA JUGA: Isu Kudatuli jadi Ritual PDIP Sejak SBY Mengalahkan Mega

Menurut Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, pihaknya sudah menyiapkan acara untuk peringatan Kudatuli. “Peringatan Peristiwa 27 Juli di kantor DPP PDI Perjuangan dilakukan dengan tabur bunga, doa, dan webinar,” ujarnya.

Lebih lanjut Hasto menjelaskan, Megawati yang memimpin PDI secara sah, berhadapan dengan tekanan dari pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Selanjutnya, pemerintahan Orde Baru melakukan tindakan anarkistis yang antidemokrasi dengan menyerang kantor DPP PDI.

BACA JUGA: PDIP Bakal Membalas Pelaku Kudatuli dengan Kebaikan

“Serangan tersebut tidak hanya menyerang simbol kedaulatan partai politik yang sah, namun juga membunuh demokrasi. Kekuasaan dihadirkan dalam watak otoriter penuh tindakan anarkistis,” katanya.

Hasto menambahkan, memang kala itu kantor PDI luluh lantak. Namun, katanya, sejarah mencatat energi perjuangan rakyat tidak surut.

BACA JUGA: Pak Jokowi, Tolong Ingat Hak-Hak Korban Kudatuli

Walakin, kala itu Megawati memilih jalur hukum di tengah kuatnya pengaruh penguasa Orde Baru. Hasto  menyebut pilihan sikap Megawati menunjukkan keyakinan politik yang sangat kuat.

“Lebih jauh lagi, keyakinan terhadap kekuatan moral terbukti mampu menggalang kekuatan demokrasi arus bawah,” katanya.

Ternyata ikhtiar Megawati menempuh jalur hukum menuai hasil. Ada hakim di Riau yang mengabulkan gugatan putri Proklamator RI itu selaku ketua umum PDI.

“Di sinilah hati nurani menggalahkan tirani,” sambung Hasto.

Namun, Megawati ketika berkuasa dan naik menjadi Presiden Kelima RI takmau membalas dendam. Tokoh kelahiran 23 Januari 1947 itu justru mengajak semua pihak tak menghujat Soeharto yang notabene penguasa Orde Baru.

Hasto mengatakan, rakyat sangat tahu tentang upaya de-Soekarnoisasi pada masa Orde Baru. Menurut Hasto, Orde Baru tak hanya menempatkan Soekarno dalam sisi gelap sejarah, tetapi juga menekan dan mendiskriminasi keluarga Presiden Pertama RI itu.

Hasto mengaku pernah menanyakan sikap Megawati yang tak mau balas dendam. Namun,  jawaban yang muncul dari Megawati ternyata di luar perkiraan Hasto.

“Saya tidak ingin sejarah terulang, seorang presiden begitu dipuja berkuasa, dan dihujat ketika tidak berkuasa. Rakyat telah mencatat apa yang dialami oleh keluarga Bung Karno. Karena itulah, mengapa Bung Karno selalu berada di hati dan pikiran rakyat. Kita tidak boleh dendam lalu hanya melihat masa lalu, dan melupakan masa depan,” tutur Hasto menirukan ucapan Megawati.

Oleh karena itu Hasto menegaskan, Kudatuli telah mengajarkan inti kekuatan moral politik. Menurutnya, Kudatuli menjadi benih perjalanan reformasi yang menyatukan rakyat untuk menumbangkan tiran.

“Di balik jatuhnya Pak Harto, Ibu Megawati telah mengajarkan politik rekonsiliasi, berdamai dengan masa lalu dan melihat masa depan. Di situlah hadir kekuatan moral seorang pemimpin,” pungkas Hasto.(tan/boy/jpnn)


Redaktur : Boy
Reporter : Boy, Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler