jpnn.com, JAKARTA - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengungkap tiga alternatif yang dibahas dalam kajian rencana pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta.
Pertama, ibu kota tetap di Jakarta tetapi dibuat distrik khusus untuk pemerintahan, yaitu daerah di seputar istana dan Monas dan sekitarnya akan dibuat khusus hanya untuk kantor pemerintahan, khususnya kementerian lembaga.
BACA JUGA: Pilpres Selesai, Jokowi Bahas Pemindahan Ibu Kota
“Itu alternatif pertama yang berarti harus mengubah peruntukan di wilayah seputaran Istana dan Monas,” kata Bambang seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet RI, Senin (29/4).
Untuk alternatif pertama ini harus dibuat konektivitas dengan LRT atau monorel sehingga mudah untuk bergerak di antara kantor kementerian/lembaga di seputar istana dan Monas.
BACA JUGA: Membedah Arti Penting Masterplan Ekonomi Syariah
Namun, kerugian dari alternatif pertama ini hanya akan menguatkan Jakarta sebagai pusat segalanya di Indonesia dan dikhawatirkan dampak urbanisasi terhadap pertumbuhan ekonomi tidak optimal.
Alternatif kedua, seperti Putra Jaya di Malaysia, memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah di dekat Jakarta, misalnya di sekitar Jabodetabek, dengan ketersediaan lahan. "Namun kelemahannya, tetap saja membuat perekonomian Indonesia terpusat di daerah Jakarta dan sekitarnya atau wilayah Metropolitan Jakarta," kata Bambang.
BACA JUGA: Jawa dan Sumatera Masih Dominasi Perekonomian Indonesia
(Baca Juga: Pilpres Selesai, Jokowi Bahas Pemindahan Ibu Kota)
Untuk alternatif kedua ini, radiusnya 50 sampai 70 km dari Jakarta, misalkan daerah yang pernah dibahas di era Presiden Soeharto yaitu Jonggol Jawa Barat, atau di daerah Maja Banten.
Nah, alternatif ketiga yaitu memindahkan ibu kota langsung ke luar Jawa, seperti contoh Brasil yang memindahkan dari Rio de Janeiro ke Brasilia, kemudian Canberra di antara Sidney dan Melbourne.
"Intinya lebih menyebarkan perekonomian Indonesia, tidak hanya terpusat di Pulau Jawa yang saat ini menyumbang 58 persen dari PDB tetapi juga mulai bergerak untuk membuat kegiatan tambahan di luar Jawa,” kata Bambang.
Syarat utama dari alternatif ketiga ini ialah ketersedian lahan yang luas karena pada intinya adalah membangun kota baru dengan biaya yang tidak sedikit.
“Lokasi strategis secara geografis ada di tengah wilayah Indonesia. Tengah ini memperhitungkan barat ke timur maupun utara ke selatan untuk merepresentasikan keadilan dan mendorong percepatan pembangunan khususnya wilayah kawasan Timur Indonesia," ujar Bambang.
Lahan untuk alternatif ketiga ini harus lahan yang luas milik pemerintah maupun BUMN yang sudah tersedia yang bisa dibangun, yang tidak lagi memerlukan biaya pembebasan.
Kemudian wilayah tersebut harus bebas bencana gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, erosi maupun kebakaran hutan dan lahan gambut. Jadi ini kita harus mencari lokasi yang benar-benar minimal dari segi risiko bencana. Selain itu, harus tersedia sumber daya air yang cukup dan bebas pencemaran lingkungan.
"Lokasi ibu kota baru tersebut bisa kota yang sudah existing, kota kelas menengah yang sudah existing. Maksudnya kota yang sudah punya akses mobilitas atau logistik. Misalkan tidak perlu membangun bandara baru di kota tersebut, bisa menggunakan bandara yang sudah ada demikian juga pelabuhan dan sebagian jalan connecting,” terang Bambang.
Menteri PPN/Kepala Bappenas itu mengusulkan kota tersebut tidak jauh dari pantai karena Indonesia adalah negara maritim. Sehingga sebaiknya ibu kota berlokasi tidak jauh dari pantai, tetapi tidak juga harus di tepi pantai itu sendiri.
"Kemudian ada tingkat layanan air minum, sanitasi, listrik dan jaringan komunikasi yang memadai. Sisi sosial juga harus diperhatikan. Tentunya semua berharap tidak ada dampak negatif terhadap komunitas lokal. Dan kemudian dari sisi pertahanan keamanan juga," ucap Bambang. (fid/jay/es)
Simak Juga Video Pilihan Redaksi:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Singgung Rencana Pemindahan Ibu Kota
Redaktur & Reporter : Adek