Membedah Arti Penting Masterplan Ekonomi Syariah

Sabtu, 27 April 2019 – 11:39 WIB
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro di rapat koordinasi penyelamatan danau di Manggala Wana Bakti. Foto: Humas KLHK

jpnn.com, JAKARTA - Masterplan ekonomi syariah Indonesia periode 2019–2024 segera diluncurkan. Menurut rencana, masterplan itu akan dirilis pada Mei mendatang.

Masterplan itu meliputi arah pengembangan ekonomi syariah selama lima tahun ke depan.

BACA JUGA: Jawa dan Sumatera Masih Dominasi Perekonomian Indonesia

Fokus masterplan tersebut mencakup penguatan rantai nilai industri halal, keuangan syariah, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta platform ekonomi digital seperti e-commerce dan financial technology (fintech).

BACA JUGA: OJK: Dalam Islam, Bank Konvensional Mengandung Riba

BACA JUGA: Butuh Pinjaman Dana Pribadi? Ini Beberapa Solusi yang Bisa Anda Coba

Direktur Eksekutif Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) Ventje Rahardjo mengatakan, untuk mempermudah pengembangan ekonomi syariah di Indonesia, pihaknya akan membuat data center.

Fungsinya, meneliti dan mengumpulkan data mengenai ekosistem ekonomi syariah di Indonesia.

BACA JUGA: Pendanaan di Fintech Makin Aman dengan Sertifikasi ISO 27001

Hal itu dilakukan karena Indonesia belum mempunyai data yang lengkap mengenai seberapa besar skala penerapan ekonomi syariah.

Dalam laporan The State of the Global Islamic Economy Report 2018–2019, Indonesia menempati peringkat kesepuluh negara terbesar yang menerapkan ekonomi syariah.

 ”Saya yakin Indonesia lebih besar daripada itu. Peringkat ke-2 ada Bahrain yang luasnya saja hanya sebesar Jatinegara sehingga kita harus membuktikan dengan pendataan yang detail dan lengkap,” kata Ventje di sela-sela acara Indonesia Islamic Economy Festival (IIEF) 2019, Jumat (27/4).

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, belanja masyarakat Indonesia terhadap produk dan jasa syariah 2017 sekitar USD 218,8 miliar.

Angka tersebut cukup besar. Namun, Indonesia masih lebih banyak mengonsumsi daripada memproduksi.

”Contoh saja untuk industri fashion halal atau syariah, kita masih net importir. Penyebabnya mungkin karena biaya produksi di belahan dunia lain lebih murah,” urainya.

Untuk itu, dia mengimbau generasi milenial tak hanya identik dengan citra konsumsinya yang besar.

Namun, generasi milenial harus lebih banyak aktif dalam menciptakan produk.

Industri halal yang mengedepankan ethial consumption belum banyak digarap produsen dalam negeri.

Itu bisa menjadi peluang usaha bagi generasi milenial agar turut mengembangkan ekonomi syariah.

Begitu pun di industri keuangan. Dana pihak ketiga (DPK) bank syariah tidak sampai Rp 400 triliun.

Jika dibandingkan dengan DPK bank konvensional yang mencapai Rp 7.000 triliun, kontribusi bank syariah dari sisi DPK terlihat sangat kecil.

Untuk itu, sektor riil dan keuangan, kata Bambang, harus tumbuh beriringan. (rin/c25/oki)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Investasi Bodong Keruk Rp 88,8 Triliun dalam 10 Tahun


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler