3 Argumen Kuasa Hukum Menyebut Penetapan Tersangka Habib Rizieq Mengada-ada

Rabu, 16 Desember 2020 – 04:46 WIB
Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab (HRS) tiba di Polda Metro Jaya, Sabtu (12/12). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Tim kuasa hukum Habib Rizieq Shihab telah mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/12).

Gugatan praperadilan tersebut mempersoalkan keputusan penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya yang menetapkan Habib Rizieq sebagai tersangka dugaan pelanggaran protokol kesehatan.

BACA JUGA: Surat Habib Rizieq untuk Keluarganya, Silakan Disimak Kalimat Terakhir

Anggota tim kuasa hukum Habib Rizieq, Sumadi Atmaja mengatakan, gugatan mereka telah terdaftar resmi dengan nomor register: 150/Pid.Pra/2020/PN.JKT.SEL.

"Dalam permohonan, kami meminta agar hakim praperadilan menyatakan penetapan tersangka terhadap Muhammad Rizieq Shihab yang dilakukan pihak penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya beserta jajarannya adalah tidak sah, tidak berdasar hukum,” kata Sumadi dalam keterangannya, Selasa.

BACA JUGA: Pernyataan Terbaru Munarman FPI, Makin Menohok

Sumadi menuturkan, penetapan tersangka yang dilakukan penyidik tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, termasuk penangkapan dan penahanan yang juga tidak sah.

“Oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat, serta penyidikan atas perkara a quo juga harus dihentikan (SP3). Bahwa secara garis besar penetapan tersangka kami rasa mengada-ngada, dan tidak berdasarkan hukum,” tambah dia.

BACA JUGA: Pasutri di Kamar Mandi, Pintu Dikunci dari Dalam, Oh Ternyata

Adapun hal yang mendasari penetapan tersangka mengada-ada, kata Sumadi, adalah sebagai berikut :

1. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 telah mengubah Pasal 160 KUHP yang dikenakan terhadap klien kami sebagai delik materiil, sehingga penerapannya harus pula disandarkan pada bukti materiil, bukan semata-mata berdasarkan selera penyidik, harus jelas siapa yang menghasut, dan siapa yang terhasut sehingga melakukan tindak pidana dan telah terbukti bersalah di pengadilan, misalnya adanya suatu hasutan sehingga menyebabkan orang terhasut membuat kerusuhan, atau anarkisme, lalu diputus bersalah oleh pengadilan, dan telah berkuatan tetap.

Bukti tersebut tidak mungkin ada, karena sebelum ditetapkannya klien kami sebagai tersangka, tidak ada didapati bukti materiil itu. Oleh karenanya kami berpendapat bahwa Pasal 160 KUHP tersebut semata-semata digunakan agar dapat menahan klien kami sebagai orang yang kritis menyuarakan kebenaran;

2. Bahwa Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juga salah jika disangkakan kepada Pemohon, unsur terpenting dari Pasal tersebut adalah “menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”.

Maka dengan tidak adanya bukti penetapan karantina wilayah, juga tidak mengakibatkan adanya penetapan kedaruratan kesehatan dalam hal ini Karantina Wilayah dan PSBB yang diumumkan oleh pemerintah pusat cq menteri kesehatan yang diakibatkan langsung oleh perbuatan Klien kami, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 49 ayat (3) UU No. 6 Tahun 2018 Kekarantinaan Kesehatan: “Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri”, penggunan Pasal tersebut oleh pihak kepada klien kami jelas salah, dan mengada-ngada, serta tidak disandarkan pada bukti materiil;

3. Bahwa hubungan sebab akibat tersebut di atas harus didukung dengan adanya minimal dua alat bukti sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP, dan karena delik materiil haruslah didukung oleh bukti materiil pula.

Oleh karena tidak adanya bukti materiil yang mendasari penggunaan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai predicate crime, dan Pasal 160 KUHP, maka secara otomatis penggunaan Pasal 216 KUHP gugur karena pasal tersebut tidak dapat berdiri sendiri atau harus berkaitan dengan predicate crime-nya. (cuy/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler