3 Dampak Buruk Aturan Baru Penggunaan Dana BOS Menurut Ketum IGI

Kamis, 13 Februari 2020 – 09:59 WIB
Ketua Umum IGI M Ramli Rahim berpose bareng Mendikbud Nadiem Makarim di Jakarta, Senin (4/11). Foto: dokumentasi pribadi for JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Ketum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim mengatakan, aturan baru dana BOS seperti yang tertuang dalam Permendikbud 8 Tahun 2020 akan menciptakan masalah baru.

Menurut Ramli, ada beberapa masalah yang berpotensi muncul akibat aturan baru itu.

BACA JUGA: Jumlah Siswa Penerima Dana BOS Berkurang, Mas Menteri Belum Tahu Penyebabnya

Pertama, adanya ketentuan maksimal 50 persen dana BOS boleh untuk gaji guru honorer akan membuat pemerintah daerah menganggap urusan honorer sudah ditangani oleh pemerintah pusat lewat dana BOS. Sehingga kemungkinan besar mayoritas pemerintah daerah akan lepas tangan terhadap pendapatan guru honorer.

Sementara, disebutkan bahwa berhak mendapatkan dana BOS dimaksud hanyalah mereka yang memiliki NUPTK (nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan) dan terdaftar di Dapodik.

BACA JUGA: Kepsek yang Tentukan Layak Tidaknya Guru Honorer Digaji dari Dana BOS

"Banyak sekolah, ketika guru honorer yang tidak memiliki NUPTK dan tidak terdaftar di Dapodik dikeluarkan maka mereka akan mengalami kekurangan guru, yang artinya kelas-kelas mereka akan mengalami kekosongan," kata Ramli dalam pesan elektroniknya, Kamis (13/2).

Lalu yang terjadi kemudian adalah kepala sekolah dengan segala kreativitasnya dengan terpaksa akan tetap mempekerjakan mereka dengan mengatasnamakan guru-guru yang ber-NUPTK.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: 200 Anak Anggota ISIS Dipulangkan, Gaji PPPK Kapan Cair?

Sehingga guru-guru NUPTK bisa dihitung telah mengajar 40 jam dalam sepekan. Padahal sesungguhnya mereka mengajar hanya mungkin 8 sampai 24 jam bahkan kurang dari itu.

"Masalahnya adalah pendidikan kita menjadi tidak mendidik, sekolah kita menjadi ladang kebohongan serta kepura-puraan dan kepala kepala sekolah kita dipaksa untuk melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak pantas dalam dunia pendidikan," tuturnya.

Kedua, selama ini 85% dari dana BOS digunakan untuk operasional sekolah dan hanya 15% yang digunakan untuk membayar guru honorer. Ketika angka 15% tersebut digeser menjadi 50% dan karena kebutuhan, secara otomatis angka 85% pun akan bergeser ke angka 50%.

Ramli melanjutkan, pertanyaannya sekarang adalah dari mana sekolah memperoleh angka 35% selisihnya yang selama ini sudah digunakan oleh sekolah untuk membiayai operasional sekolah?

"Apakah kemudian listrik bisa dibayar setengahnya saja dulu, wi-fi dibayar setengahnya saja dulu kemudian barang-barang lain dibayar setengahnya saja dulu? Karena dana BOS kita yang awalnya 85% untuk operasional sekolah tanpa honorer menjadi hanya 50% saja?," tanya Ramli.

Ketiga, transfer dana yang dilakukan langsung dari pusat ke sekolah memang sangat positif dalam satu sisi. Sebab, elama ini beberapa daerah bermasalah dengan transfer dari dana kas daerah ke kas sekolah.

Namun, di sisi lain kepala-kepala daerah akan lepas tangan karena menganggap urusannya adalah urusan pusat dan sekolah.

Masalahnya kemudian menurut Ramli, kepala-kepala sekolah ini akan sangat kreatif melakukan manuver-manuver terhadap anggaran dalam upaya mempertahankan jabatan mereka. Apalagi daerah-daerah sedang menghadapi Pilkada.

Kepala sekolah membuat APK Pilkada untuk petahana atau sekadar membayarkan makan siang buat Tim Sukses adalah sesuatu yang lumrah dalam kontestasi politik daerah. “Lalu pertanyaannya dari mana mereka akan mendapatkan dana itu?”

Di satu sisi mereka tidak boleh melanggar juklak dana BOS. Di sisi lain mereka takut kehilangan jabatan. Sementara jabatan mereka ada di tangan kepala daerah. Kepala daerah tidak mau tahu soal pertanggungjawaban dana BOS karena ada di tangan kepala sekolah.

"Semua hal-hal tersebut sangat berpotensi menggiring kepala sekolah mengembara di ranah hukum," tandasnya. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler