jpnn.com, JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak Presiden Joko Widodo bersikap tegas menyikapi polemik hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
AJI mengeluarkan tiga rekomendasi.
BACA JUGA: Cukai Tembakau Naik, Penyerapan Hasil Panen Bakal Anjlok
Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito Madrim kemudian menguraikan tiga desakan yang disuarakan.
Pertama, Presiden Jokowi diminta berpegang teguh pada komitmen awal dan membuktikannya dengan sikap konkret menengahi polemik TWK pegawai KPK.
BACA JUGA: Efek Politik Mahal Pada Pilpres Sangat Berbahaya!
Kedua, Presiden Jokowi diminta mengikuti rekomendasi Komnas HAM berupa tindakan korektif untuk mengangkat seluruh pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK.
Ketiga, Presiden Jokowi diminta memerintahkan KPK untuk mengikuti rekomendasi Komnas HAM dan melaksanakan tindakan korektif yang diminta Ombudsman.
BACA JUGA: Data Aplikasi PeduliLindungi Bocor? Kemenkes Klaim Begini
"Kami tak ingin ada sikap plin-plan, membuat publik kian tak percaya dengan janji pejabat negara," ujar Sasmito dalam keterangannya, Minggu (5/9).
Sasmito menyatakan revisi Undang-Undang KPK tentu bukan keputusan yang akan dilupakan.
Karena itu, jika tetap membiarkan pegawai KPK berintegritas disingkirkan, lengkap sudah rekam jejak kepemimpinan yang membuat pemberantasan korupsi di Indonesia runtuh.
Perwakilan 57 pegawai KPK berkunjung ke Kantor AJI Indonesia dalam agenda mendiskusikan temuan dua lembaga negara, yakni Ombudsman RI dan Komnas HAM RI.
Temuan Ombudsman dan Komnas HAM menyebut ada berbagai pelanggaran dan siasat penyingkiran pegawai KPK melalui pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK).
Lembaga pengawas pelayanan publik Ombudsman menemukan ada cacat administrasi berlapis, penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan dalam proses pembentukan kebijakan, pelaksanaan TWK, serta penetapan hasil.
Sedangkan Komnas HAM mendapati proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen TWK diduga kuat merupakan bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu, dengan latar belakang tertentu.
Indikasi itu ditunjukkan di antaranya dengan adanya profiling lapangan terhadap sejumlah pegawai KPK.
Laporan setebal lebih dari 300 halaman itu juga membeberkan temuan 11 bentuk dugaan pelanggaran HAM.
Di antaranya pelanggaran terhadap hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi ras dan etnis, hak atas rasa aman, hak atas privasi, hak atas informasi publik dan hak atas kebebasan berpendapat.
Atas rentetan temuan itu, seharusnya tak ada lagi alasan bagi KPK untuk tidak mengangkat 75 (yang kemudian 50-an di antaranya dicap merah) pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara.
Tetapi pemimpin lembaga antirasuah memilih untuk mengabaikannya.
"Ketika hak asasi manusia disepelekan, hukum direndahkan dan ketidakadilan didiamkan, maka orang-orang patut bicara. Apalagi, mereka yang memiliki otoritas tertinggi," kata Sasmito.
Menurut Sasmito, Presiden Jokowi pernah menyatakan hasil TWK terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi langkah-langkah perbaikan KPK.
Baik individu maupun institusi, dan tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes.
Sasmito menegaskan Ombudsman dan Komnas HAM memiliki kewenangan terbatas.
Tindak lanjut dari tangan Presiden Jokowi sebagai kepala negara.
"Jika Jokowi tak segera mengambil sikap, rasanya pantas publik terus-menerus curiga dan mempertanyakan keseriusan ucapan kepala negara," pungkas Sasmito.(Antara/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang