3 Isu ini Paling Banyak Jadi Bahan Hoaks, Begini Alasannya

Senin, 05 Juli 2021 – 21:47 WIB
Ahli SEO Charlie M Sianipar. ANTARA/Dokumentasi Pribadi/Charlie M Sianipar

jpnn.com, JAKARTA - Ahli Search Engine Optimization (SEO) Charlie M Sianipar menyebut ada tiga isu utama yang paling sering sering menjadi sasaran berita palsu alias hoaks.

Ketiga isu tersebut masing-masing terkait sosial politik, kesehatan dan terkait Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

BACA JUGA: Begini Ungkapan Tulus Panglima TNI untuk Para Tenaga Kesehatan

Tiga isu ini dinilai paling mudah untuk memecah belah masyarakat.

"Tiga isu itu sering dipilih untuk berita hoaks karena dianggap paling mudah dan ampuh untuk memecah belah masyarakat, " ujar Charlie dalam keterangannya, Senin (5/7).

BACA JUGA: Tjahjo Mengajak ASN Laksanakan Arahan Presiden

CEO Galases Digitalisasi itu menyatakan pandangannya pada 'Gerakan Nasional Literasi Digital 2021' Sumatra II Kabupaten Simalungun, Sumut yang digelar secara virtual.

Pada acara tersebut Charlie berbicara tentang pentingnya pemahaman membedakan informasi.

BACA JUGA: Kepala Daerah di Luar Jawa-Bali Diminta Siapkan Skenario Terburuk

Menurut Charlie, berita hoaks bertujuan untuk mengadu domba, menyebarkan fitnah, mencemarkan nama baik dan membuat cemas.

Media penyebaran hoaks yang digunakan antara lain pijakan digital yakni daring dengan laman ;kaleng-kaleng', media sosial bahkan media chatting seperti WhatsApp dan Meme.

Ciri-ciri hoaks menurut penggiat pemasaran secara digital itu, menciptakan kecemasan, kebencian, permusuhan, termasuk sumber berita yang tidak jelas dan tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab atau klarifikasi.

Adapun pesannya sepihak, menyerang dan tidak netral atau berat sebelah.

Kemudian, mencatut nama tokoh berpengaruh atau pakai nama mirip media terkenal, serta memanfaatkan fanatisme atas nama ideologi, agama dan suara rakyat.

Judul dan pengantarnya provokatif dan tidak cocok dengan isinya, memberi penjulukan minta supaya disebar atau diviralkan.

Menggunakan argumen dan data yang sangat teknis supaya terlihat ilmiah dan dipercaya.

Manipulasi foto dan keterangannya, serta penggunaan foto-foto sudah lama dan berasal dari kejadian di tempat lain.

"Masih menjamurnya berita hoaks hingga saat ini karena peningkatan pengguna smartphone dan media sosial yang begitu pesat belum diikuti maksimal dengan literasI digital," katanya.

Untuk menekan hoaks, Charlie menilai perlu peningkatan literasi digital.

Selain itu, tindakan tegas dari pemerintah bagi pembuat dan penyebar hoaks.

Masyarakat juga harus semakin cerdas untuk tidak terjebak dengan berita palsu.

Charlie kemudian mengingatkan, penyebar berita palsu ancamannya hukuman yang cukup berat.

Penyebar hoaks terancam pasal 28 ayat I UU ITE yakni ancaman pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

"Jadi pikir sebelum digulirkan agar masyarakat tidak terjerat dengan ancaman pidana UU ITE, " katanya.

Charlie kemudian mengajak masyarakat mengecek keaslian sebuah informasi.

Menurutnya ada tiga laman yang bisa digunakan masyarakat, yaitu TurnBackHoax. id, CekFakta.com dan Detax.org.(Antara/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler