jpnn.com, SURABAYA - Indonesia merupakan rumah bagi 100 juta perokok. Yang memprihatinkan, sesuai dengan data Atlas Pengendalian Tembakau di ASEAN, lebih dari 30 persen anak Indonesia merokok sebelum usia 10 tahun.
Fakta itu pun membuat Rosita Handayani tergerak mendirikan komunitas Duta Cilik AntiRokok untuk mengedukasi anak-anak tentang bahaya merokok.
BACA JUGA: Ngeri, Merokok Ternyata Mengubah DNA Sampai 30 Tahun
VIRDITA RIZKI RATRIANI, Jakarta
Beberapa tahun lalu, pemberitaan di media massa tanah air heboh dengan fenomena seorang anak berusia 2 tahun yang kecanduan rokok.
BACA JUGA: Bamsoet Desak Pemerintah Gencarkan Upaya Cegah Perokok Belia
Lingkungan merupakan salah satu faktor terpenting anak bernama Ardi Rizal itu sehingga menjadi perokok aktif pada usia yang begitu belia.
Pencitraan rokok sebagai gaya hidup yang keren, macho, dan maskulin memang menjadi daya tarik anak muda untuk mencoba mengisapnya. Hal itu diperparah pengaruh teman sebaya.
BACA JUGA: Di Negara Ini, Rokok Renggut Tiga Ribu Nyawa Tiap Tahun
Survei Indonesia Kesehatan Nasional (Sirkenas) 2016 menunjukkan, prevalensi perokok usia anak (di bawah 18 tahun) meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 8,8 persen pada 2016.
''Yang membuat miris adalah kenapa rokok selalu menyasar kaum marginal,'' ungkap Rosita Handayani, pendiri Duta Cilik AntiRokok.
Alumnus Program Studi Farmasi Universitas Indonesia (UI) itu juga prihatin karena mayoritas perokok merupakan kaum marginal.
Dia pun berinisiatif mendirikan komunitas Duta Cilik AntiRokok.
Bagi dia, strategi efektif untuk mengurangi jumlah perokok adalah mengedukasi anak-anak sejak dini tentang bahaya rokok.
Apalagi, dia melihat selama ini belum ada gerakan antirokok yang menyasar anak-anak. Mayoritas gerakan antirokok di Indonesia selama ini menyasar orang dewasa.
''Agak skeptis kalau harus kampanye antirokok ke orang yang sudah mengenal rokok. Akhirnya, lihat kenapa sih tidak mulai dari anak-anak saja sebelum mereka itu kenal rokok dari orang tua dan temannya. Ya sudah, kami kenalin saja rokoknya,'' ungkap Rosita.
Dengan demikian, anak-anak tersebut memiliki pilihan untuk bisa hidup sehat tanpa rokok atau harus bergantung pada rokok yang berpotensi mendatangkan berbagai penyakit.
Pada 1 Juni 2014 pun berdirilah Duta Cilik AntiRokok di Museum Mandiri, kawasan Kota Tua, Jakarta, dengan mengedukasi 200 anak.
Agar tidak membosankan dan bisa menarik minat anak berusia 5-13 tahun, dipilihlah metode edukasi yang menyenangkan.
''Mereka dijelasin pakai gambar. Pakai permainan. Pakai praktikum juga. Kami menyebut praktikumnya itu sulap,'' jelasnya.
Rosita lantas mencontohkan dengan memasukkan tisu ke dalam botol yang ada asap rokoknya.
Tisu yang semula putih bersih pun berubah cokelat. Itulah gambaran dampak rokok ke tubuh manusia.
''Kalau kami ngomongin rokok mengandung nikotin, kan mereka nggak paham itu apa. Ya udah, kami harus pakai peragaan. Terus pakai gambar, pakai flashcard. Kayak gambar yang kita bolak-balik ada gambarnya, keterangannya,'' imbuhnya.
Keterlibatan orang tua juga menjadi aspek penting agar edukasi tersebut berhasil. Karena itu, Duta Cilik (Ducil) AntiRokok juga sering mengundang orang tua untuk ikut dalam kegiatan edukasi.
''Kalau anak-anak waktu ikut kegiatan memahami tentang rokok, tetapi saat di rumah bertemu dengan orang tua yang perokok, ya sia-sia dong,'' ujarnya.
Untuk itu, edukasi juga sering dilakukan dengan mengunjungi kompleks-kompleks yang mayoritas berisi kaum marginal.
''Strategi kedua itu kami ke kompleks. Namanya Ducil goes to kompleks. Itu kami ke kompleks-kompleks yang paparan asap rokoknya tinggi,'' ungkap Rosita.
Kegiatan utama komunitas tersebut selama ini memang road show dari satu sekolah ke sekolah lain.
Dari satu perumahan ke perumahan lain. Juga, bekerja sama dengan komunitas anak lain untuk melakukan edukasi dan mentoring di tempat kegiatan komunitas anak tersebut.
Saat kali pertama berkunjung, dilakukan pretest kepada anak-anak mengenai pengetahuan mereka tentang rokok.
Lalu, mereka dibagi dalam kelompok besar dan kelompok kecil. Kelompok besar terdiri atas anak kelas IV, V, dan VI SD.
Sedangkan kelompok kecil berisi anak TK sampai kelas III SD. Materi yang digunakan pun berbeda mengikuti kelompok kelas masing-masing.
Untuk kelompok kecil, materi biasanya berisi tebak gambar seputar rokok maupun tembakau. ''Intinya masih tahap mengenali sih kalau anak kecil itu. Mengenali dan tahu apa yang harus dilakukan,'' terang penerima beasiswa LPDP program master di program studi farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Untuk kelompok besar, output-nya adalah mengenali dan paham alasan jangan merokok, paham hak-hak mereka, dan mampu bercerita kepada teman-teman sebaya tentang rokok serta bahayanya.
Komunitas itu juga membuat nyanyian dengan lirik: kalau ada asap rokok tutup hidung, kalau ada asap rokok pakai masker, kalau ada asap rokok kita harus jauh-jauh, jauhilah asap rokok. Dinyanyikan dengan menggunakan nada lagu Kalau Kau Suka Hati.
Setelah selesai, anak-anak tersebut dilantik menjadi Ducil AntiRokok secara simbolis dengan pemberian pin. Dilanjutkan dengan kunjungan ke orang tua.
Penyuluhan untuk orang tua tidak selalu tentang rokok, tetapi juga good parenting. Tujuannya, orang tua tidak memberikan label buruk kepada anak dan tidak membanding-bandingkan anak mereka.
Orang tua juga diberi pemahaman untuk mendukung upaya anak-anak menjauhi rokok.
''Kan kami tidak menyuruh mereka untuk berhenti merokok. Tapi, mereka bisa melakukan hal-hal agar anaknya itu tidak merokok,'' terangnya.
Sejauh ini Ducil berhasil mengedukasi ribuan anak. Sekali road show, jumlah anak yang diedukasi komunitas tersebut 50-150 anak.
Pertanyaan yang paling sering muncul dari anak-anak, jika rokok memang berbahaya, lalu kenapa orang tua mereka justru merokok?
''Kami memperlakukan orang merokok sebagai korban, bukan orang jahat. Lihat lho, mereka merokok itu korban. Kasihan. Mau berhenti, tetapi susah. Jangan sampai seperti mereka,'' tegasnya.
Untung, hingga sekarang belum pernah ada perlawanan yang berarti dari orang tua.
Sumber dana untuk kegiatan komunitas selama ini berasal dari kocek pribadi volunter. Hingga kini, Ducil AntiRokok memiliki 121 volunter.
Mereka terdiri atas 25 volunter tetap yang sekaligus berperan sebagai pengurus. Sisanya merupakan volunter temporer.
''Aku merasa negara ini sudah memberikan banyak hal ke aku. Ya sudah, kenapa aku tidak menyisihkan sedikit?'' ujar penerima beasiswa bidikmisi di UI saat jenjang S-1 tersebut.
Rosita memang menyisihkan dana dari beasiswa bidikmisi maupun LPDP yang diterimanya untuk membantu kegiatan Ducil AntiRokok.(*/c5/agm/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Bahaya Asap Rokok untuk Ibu Hamil dan Janin
Redaktur & Reporter : Natalia