36,22 Persen SD Belum Punya Perpustakaan

Jumat, 30 November 2018 – 19:01 WIB
Kartika Isnaini, Pustakawati SDN 173/V Tanjung Benanak (kedua dari kiri) saat memaparkan pengalamannya meningkatkan kualitas perpustakaan sekolah. Foto: Mesya/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan, hingga 2018, sebanyak 36,22 persen sekolah dasar di Indonesia masih belum memiliki perpustakaan. Ketiadaan perpustakaan sekolah itu, juga pernah terjadi selama 14 tahun di SDN 173/V Tanjung Benanak yang berada di perkampungan transmigrasi SP3 Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Sejak berdiri tahun 1996 sampai 2011, sekolah ini tidak memiliki perpustakaan sekolah.

“Keterbatasan ruang kelas dan tidak adanya buku bacaan membuat kami belum memikirkan perlu adanya perpustakaan sekolah,” kata Kartika Isnaini, Pustakawati SDN 173/V Tanjung Benanak saat memaparkan pengalamannya meningkatkan kualitas perpustakaan sekolah pada acara Festival Perpustakaan Kemdikbud 2018, di Jakarta, Jumat (30/11).

BACA JUGA: Fahri Kritik Wacana Kemendikbud Hidupkan Kembali Mapel PMP

Inspirasi untuk membuat perpustakaan muncul pada akhir 2011 setelah sekolahnya mendapat bantuan buku bacaan dan pelatihan mengembangkan budaya baca dari Tanoto Foundation.

“Kami memanfaatkan toilet rusak berukuran 2 x 3 meter direnovasi menjadi perpustakaan sekolah. Ukurannya kecil tetapi kami menggerakkan budaya baca melalui perpustakaan ini. Buku-buku bacaan mulai kami sebarkan ke pojok-pojok baca di semua kelas. Saya pustakawati yang mengatur sirkulasi pembaruan bukunya,” tuturnya.

Kartika menyadari kunci keberhasilan meningkatkan budaya baca adalah penyediaan buku-buku bacaan baru yang berkelanjutan. Untuk itu dia bersama kepala sekolah dan para guru memikirkan cara untuk memperbarui buku disaat sekolah memiliki keterbatasan anggaran. Mereka mendapatkan empat gagasan yang langsung ditindaklanjuti.

BACA JUGA: Ini 3 Kriteria Guru Profesional untuk Pembelajaran Abad 21

Pertama, mendatangi kepala desa setempat untuk mendapatkan pinjaman buku perpustakaan desa. Hasilnya, sekolah mendapatkan pinjaman 200 buku bacaan persemester. Kedua melibatkan alumni untuk menyumbang satu buku bacaan sebelum mereka lulus. Ketiga, menganggarkan dana BOS sekitar empat persen untuk membeli buku bacaan.

Keempat, orang tua siswa dilibatkan untuk membelikan buku-buku kesukaan siswa. Buku itu setelah dibaca anaknya, mereka dapat saling bertukar buku dengan temannya. “Dari upaya ini, setiap semester kami mendapat sekitar 400an buku bacaan baru,” katanya lagi.

BACA JUGA: Sistem Zonasi Diragukan Ampuh Ciptakan Sekolah Favorit Baru

Upaya kreatif tersebut membuat para siswa memiliki banyak pilihan buku untuk dibaca. Buku-buku tersebut disebar ke setiap kelas agar siswa lebih mudah membacanya. Sekolah juga membuat program kampanye membaca setiap hari. Program ini sudah dilakukan sejak tahun 2014 sebelum kebijakan membaca 15 menit dijalankan Kemdikbud.

Setelah siswa senang dan terbiasa membaca, sekolah memiliki program untuk mendorong siswa lebih memahami isi buku yang dibaca. “Bentuknya dengan melatih siswa menulis, menceritakan kembali isi buku, menggambar tokoh buku dalam poster, atau membuat kegiatan bedah buku,” kata Kartika.

Di sekolah ini, sejak kelas tiga para siswa juga sudah dibiasakan membuat buku cerita sendiri. Ide, gambar, dan isi ceritanya semua dari siswa. Guru membimbing mereka dalam proses pembuatannya.

Setelah selesai dibuat, buku tersebut dijilid sendiri. Bukunya disimpan di pojok baca kelas dan juga di perpustakaan sekolah. “Ternyata buku buatan siswa juga menarik minat siswa lain untuk membacanya,” ucap Kartika.

Perjuangan Kartika bersama warga sekolah, berhasil menghadirkan fungsi dan peran perpustakaan untuk meningkatkan kemampuan literasi anak. Dari jurnal membaca yang ditulis oleh siswa, tampak dalam seminggu siswa membaca setidaknya 2-3 buku bacaan. Hal ini menunjukkan minat membaca siswa sudah berkembang dengan baik.

Bahkan kegiatan literasi ini juga dikembangkan dalam pembelajaran. Misalnya, dalam membuat laporan percobaan IPA, siswa menulis laporannya dalam bentuk buku tutorial. Buku tersebut berisi tulisan siswa menceritakan alat dan bahan, cara kerja, sampai kesimpulannya setelah melakukan percobaan.

Kini telah banyak buku tutorial yang dibuat siswa. Seperti buku tutorial tentang kincir angin, praktik membuat rangkaian listrik lampu lalu lintas, cara kerja parasut, simetri lipat, dan masih banyak lagi,” terang Kartika.

Dia juga menyebut keteladanan menjadi faktor penting keberhasilan dalam menumbuhkan minat membaca. “Saat meminta anak membaca, maka guru, kepala sekolah, dan orang tua juga harus membaca,” tandasnya. (esy/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Revitalisasi SMK yang Utama soal Kompetensi Guru


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler