jpnn.com, JAKARTA - Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti Dian Adriawan DG Tawang menilai empat anggota Front Pembela Islam (FPI) yang tewas di dalam kendaraan milik aparat merupakan pembunuhan.
Penilaian itu disampaikan Dian saat memberi keterangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa.
BACA JUGA: Danrem Suryakencana Bawa Kabar Buruk, Ini Harus Jadi Perhatian untuk Semua
Dian menjelaskan perbuatan membunuh itu ditandai setidaknya oleh dua faktor.
Pertama ada korban tewas dan kedua posisi tidak seimbang antara pelaku dan korban.
BACA JUGA: GP Ansor Polisikan Penendang Sesajen, Kapolres Lumajang Sampaikan Komitmennya
Terkait poin kedua, dia menyampaikan pelaku merupakan pihak yang punya kemampuan untuk melakukan tindak pidana pembunuhan.
Misalnya, memiliki senjata, sementara korban tidak memegang senjata dan tidak mampu membela diri.
BACA JUGA: Detik-Detik Ratusan Brimob Bersenjata Lengkap Mengepung Meikarta, Menegangkan!
“Dengan adanya orang mati berarti ada perbuatan membunuh. Dalam hal ini yang diduga sebagai pelaku itu memegang senjata, sedangkan yang jadi korban tidak memegang senjata,” kata Dian saat menjawab pertanyaan Jaksa Zet Tadung Allo di persidangan.
Dalam persidangan, Zet membacakan fakta-fakta pada berita acara pemeriksaan (BAP), antara lain empat anggota FPI itu telah digeledah dan dilucuti oleh polisi sebelum mereka masuk ke dalam kendaraan untuk dibawa ke Polda Metro Jaya.
Dari hasil penggeledahan, petugas menemukan senjata tajam, senjata api, dan butir peluru dari anggota FPI tersebut.
"Artinya, empat anggota FPI itu tidak bersenjata saat berada di dalam mobil yang dikendarai petugas, sementara tiga polisi yang berada dalam kendaraan seluruhnya bersenjata lengkap," kata Jaksa Zet.
Tiga polisi yang berada dalam kendaraan, yaitu Brigadir Polisi Satu (Briptu) Fikri Ramadhan, Inspektur Polisi Dua (Ipda) Mohammad Yusmin Ohorella, dan mendiang Ipda Elwira Priadi.
Meski demikian, dia menilai hanya satu terdakwa yang bertanggung jawab atas kematian empat korban, yaitu Briptu Fikri Ramadhan.
Pelaku penembakan lainnya, Ipda Elwira Priadi, sempat ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, dia meninggal dunia sebelum kasusnya masuk tahapan persidangan.
Terdakwa lainnya, Ipda Mohammad Yusmin Ohorella dapat disebut melakukan pembantuan.
Dalam istilah hukum, yang juga diatur dalam ketentuan perundang-undangan, pembantuan merupakan keterlibatan pihak lain dalam peristiwa pidana, tetapi itu tidak menentukan akhir suatu peristiwa.
Yusmin, menurut Dian, dianggap melakukan pembantuan karena pada saat kejadian dia mengendarai kendaraan yang menjadi lokasi penembakan.
Dalam persidangan yang sama, Dian menerangkan adanya posisi yang tidak seimbang antara pelaku dan korban menjadi penentu suatu peristiwa yang dapat disebut sebagai pembunuhan.
“Kalau berimbang itu bisa dikatakan sebagai pembelaan diri, tetapi kalau kondisinya sebaliknya tidak masuk dalam kategori itu,” imbuh Dian.
Penuntut umum menghadirkan tujuh ahli pada sidang pembunuhan sewenang-wenang (unlawful killing) terhadap enam anggota FPI pada 2020.
Tujuh ahli yang dihadirkan oleh jaksa pada persidangan, Selasa, yaitu dua ahli senjata dari PT Pindad, satu ahli peluru/amunisi dari PT Pindad, satu ahli bahasa, satu ahli digital forensik, dan dua ahli hukum pidana.
Jaksa pada persidangan sebelumnya telah mendakwa Briptu Fikri dan Ipda Yusmin dengan Pasal 338 dan Pasal 351 ayat (3) KUH Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman pidananya 15 tahun penjara dan tujuh tahun penjara. (antara/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penghina Ulama Sukabumi Diciduk, Polisi Ungkap Motifnya, Ternyata!
Redaktur & Reporter : Rasyid Ridha