jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI Sultan B Najamudin merespons langkah kepolisian daerah (Polda) Bengkulu yang menangkap 40 Warga Kabupaten Muko-Muko yang diduga melakukan pencurian Tandan Buah Segar (TBS) sawit milik salah satu perusahaan perkebunan sawit di Muko-muko.
Sultan meminta Polda Bengkulu menyelesaikan proses hukum tersebut secara secara persuasif.
BACA JUGA: Hore! Pabrik Kelapa Sawit Mulai Beroperasi, Sebegini Harga TBS Teranyar
"Panas dingin hubungan sosial-ekonomi antara korporasi kelapa sawit dan masyarakat lokal atau indegenious People merupakan kasus sosial yang umum terjadi dan tentunya tidak bisa hanya dibaca dengan teks hukum positif. Terutama jika kita mengaitkannya dengan sengkarut reformasi agraria perkebunan dan tata niaga kelapa sawit yang justru menyebabkan kerugian ekonomi masyarakat hari-hari ini,” ungkap Sultan melalui keterangan resminya pada Senin (16/5).
Menurut Sultan, meskipun masyarakat dalam konteks ini berada pada posisi yang diduga merugikan pihak perusahaan, namun motif perbuatan mereka harus juga dilihat secara menyeluruh.
BACA JUGA: Petani Kelapa Sawit Yakin Larangan Ekspor CPO Segera Dibuka, Ini Alasannya
Sultan mengaku tidak pada posisi membela tindakan masyarakat. Namun, menurut Sultan, pelaku industri perkebunan kelapa sawit dan perusahaan terkait harus menyelidiki lebih lanjut tentang pemenuhan kewajibannya kepada masyarakat selama ini.
"Pihak kepolisian juga harus menyelidiki apakah perusahaan telah melakukan semua kewajibannya seperti melaksanakan program kebun sawit plasma atau kewajiban administrasi lainnya yang merugikan hak-hak masyarakat setempat,” kata Sultan.
BACA JUGA: Sultan Dorong Investasi Lebih Banyak Didistribusikan ke Daerah
Menurut Sultan, kejadian ini tidak hanya membuktikan adanya proses distribusi lahan yang tidak proporsional, namun juga menunjukkan adanya pengabaian negara terhadap keberadaan dan hak masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan.
Oleh karena itu, Sultan mendorong agar persoalan ini diselesaikan secara kekeluargaan dan persuasif. Pemerintah daerah setempat harus menjadi pihak yang menengahi masalah ini.
"Sebagai masyarakat lokal yang lahan warisan leluhurnya dijadikan HGU perkebunan kelapa sawit oleh negara, tidak tepat memperlakukan mereka dengan pendekatan hukum yang berlebihan. Mereka mungkin hanya ingin memenuhi kebutuhan hidup keluarganya,” kata senator asal Bengkulu itu.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari