JAKARTA - Kalimantan Timur akhirnya mendapat dukungan dari daerah penghasil lain dalam perjuangan mengubah porsi bagi hasil migas, lewat uji materiil UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dukungan tersebut berupa kesediaan 5 daerah penghasil untuk dijadikan saksi dalam persidangan lanjutan pada 7 Desember 2011Kesediaan pemerintah Bojonegoro, Blora, Riau, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Tengah diketahui selepas mereka menghadiri seminar bagi hasil migas di Nusantara V, kompleks gedung DPR RI, Senin (29/11).
"Keterangan mereka sangat kita perlukan untuk menggambarkan adanya ketidakadilan sebagai akibat penerapan Pasal 14 huruf e dan f UU No 33 itu
BACA JUGA: Tak Dibangun Jembatan Baru, Rakyat Marah
Ini bukti bagi MK bahwa yang merasa tak adil itu bukan hanya Kaltim," kata Muspani, pengacara Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) selepas acara seminar tersebut.Dalam seminar yang difasilitasi anggota DPD RI, Luther Kombong dan Bambang Susilo tersebut, wakil pemerintah Sumatera Utara, Jambi, dan Kalimantan Selatan juga menyatakan dukungannya atas perjuangan Kaltim
"Masalah dana sudah kami (MRKTB) siapkan
BACA JUGA: Tanpa Benahi Infrastruktur, MP3IE Hanya Jadi Dokumen
Kami bukannya sombong," kata LutherDia berbicara begitu saat memaparkan hasil peninjauan ke Kecamatan Bunyu dan Krayan (Kaltim), di mana tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar daerah eksplorasi migas tersebut justru lebih memprihatinkan dibanding daerah nonpenghasil migas
BACA JUGA: Terseret Korupsi, Walikota Baubau Diperiksa
Ketimpangan ini jadi alasan Kaltim untuk menggugat ke MK.Sementara Bambang kembali menyoroti tak adanya dasar hukum pembagian 15,5 persen untuk daerah dan 84,5 persen pemerintah pusat dalam dana bagi hasil minyak sesuai Pasal 14 huruf e dan f UU No 33Ketiadaan pijakan hukum, menurut dia, adalah bukti telah dilanggarnya hak konstitusi masyarakat Kaltim serta daerah penghasil migas lain.
Pernyataan Bambang dibenarkan ahli tata negara Irman Putra Sidin dan pengamat perminyakan KurtubiMenurut Irman, patokan porsi bagi hasil didasari anggapan lama pemerintah pusat bahwa pemerintah daerah belum cakap mengurus dirinya sendiri
Sayangnya setelah reformasi 1998 yang dibarengi dengan otonomi daerah, lanjut Irman, kesadaran untuk mendapat bagi hasil migas lebih banyak tak juga muncul.
"Yang saya lihat, hanya Kaltim yang merasa tak adil kemudian berjuang lewat uji materiilSedangkan 18 daerah penghasil lain diam saja, seolah menerima ketidakadilan ini," sindir Irman
Padahal seiring berlakunya era otonomi daerah, tambah Irman, yang lebih berperan adalah kabupaten/kota bukan pemerintah pusat.
Sementara Kurtubi yang dihadirkan di sesi akhir seminar berpendapat, bagi hasil yang tepat angkanya adalah 50 persen daerah dan 50 persen pusatAngka 70 persen bagi daerah seperti yang diberlakukan di Aceh dan Papua, menurut Kurtubi, terlalu banyak dan tak adil bagi pemintah pusat yang harus menanggung daerah nonpenghasil migas
Ditegaskannya pula, aturan bagi hasil ini merupakan produk UU Migas No 22 Tahun 2001 yang menurut dia banyak cacat hukumnyaDisebutkan begitu karena ada beberapa pasalnya yang digugurkan MK karena dinilai tak mendukung investasi dan praktik usaha migas yang berlaku di tingkat internasional
Contoh jelasnya, sangat besarnya peran BP Migas yang bisa menentukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan aktivitas produksi migas, sehingga produksi migas menurun seperti sekarang Pemberlakuan UU ini tentu menggerus penerimaan daerah sebab produksi migas dari hari ke hari cenderung turun(pra/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terbitkan Izin Konser, Walikota Kendari Diprotes
Redaktur : Tim Redaksi