5 Korporasi Jadi Tersangka Kasus Timah, Pengamat UI Minta Pemerintah Perketat Pengawasan

Sabtu, 04 Januari 2025 – 08:03 WIB
Suasana sidang korupsi timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (18/12). Ilustrasi. Foto: Kenny Kurnia Putra/jpnn.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Kebijakan Hukum Kehutanan dan Konservasi Universitas Indonesia (UI) Budi Riyanto menyatakan Pemerintah perlu memperketat pengawasannya terhadap industri pertambangan.

Hal ini disampaikan merespons penetapan lima korporasi sebagai tersangka dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada 2015-2022.

BACA JUGA: Ahli Hukum: Kejagung Harus Buktikan Kerugian Negara Rp 300 Triliun di Kasus Korupsi Timah

Lima perusahaan yang menjadi tersangka baru dalam perkara tindak pidana korupsi timah ialah PT RBT, PT SIP, PT TIN, PT SB dan CV VIP.

Dia mengatakan kelima pemain di industri pertambangan itu memiliki izin resmi dari pemerintah, sehingga selama beroperasi mendapat pengawasan dari otoritas.

BACA JUGA: Kasus Korupsi Timah, Helena Lim Divonis 5 Tahun Penjara

Dia juga meragukan sikap Kejagung yang menjadikan kelima korporasi sebagai tersangka dalam korupsi komoditas timah. 

Termasuk dasar penetapan tersangka hanya mengacu pada potensi nilai kerusakan lingkungan yang dianggap sebagai kerugian keuangan negara sebesar Rp300 triliun. 

BACA JUGA: Hakim Vonis Crazy Rich PIK Penjara 5 Tahun di Kasus Korupsi Timah

“Pertanyaannya, siapa yang harus bertanggung jawab ini? Jangan terus pemerintah lepas tangan begitu saja, tetapi dia sebagai regulator pengawas. Apalagi dari korporasi itu ada yang masih hidup, berarti ada pengawasan,” kata Budi saat dihubungi, Jumat (3/1). 

Dia juga meragukan hitungan kerugian negara yang ditimbulkan akibat kasus tersebut. 

Menurutnya, masalah kerusakan lingkungan punya parameter dan harus dihitung secara holistik. Diperlukan perhitungan yang matang secara komprehensif oleh scientific authority

“Enggak bisa secara parsial. Rusaknya airnya begini, rusak tanahnya begini, tanamannya begini, tetapi harus secara holistik. Scientific authority itu kalau di kita dulu LIPI, sekarang diganti BRIN,” lanjutnya. 

“Soal BRIN ini nanti akan mengundang para ahli di Bogor, nantinya silahkan. Jadi, jangan pendapat orang per orang langsung dijadikan dasar tuntutan. Itu yang berbahaya menurut saya,” papar Budi. 

Sementara itu, ahli di bidang hukum pertambangan Abrar Saleng memandang Kejagung terkesan mempersoalkan aktivitas perusahaan tambang yang secara resmi mengantongi izin usaha pertambangan (IUP).

Menurutnya, perusahaan yang telah memperoleh IUP punya tanggung jawab terhadap lingkungan atau kawasan yang diekploitasi dan bisa diawasi oleh pemerintah. 

“Justru penambang-penambang yang punya izin yang dipersoalkan. Justru yang ilegal enggak dipersoalkan. Padahal yang ilegal itu tidak ada tanggung jawab lingkungannya. Tidak ada kewajibannya juga pada negara,” kata Abrar Saleng. 

Abrar menjelaskan kasus pertambangan jika terjadi pelanggaran biasanya diselesaikan secara administrasi dan bukan pidana.

Dia menjelaskan selain sanksi administrasi, yang berhak melakukan penyidikan adalah polisi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kementerian ESDM, bukan lembaga lain atau didasarkan pada hitungan ahli lingkungan. 

“Kalau khusus dunia pertambangan diragukan (perhitungan ahli) karena orang tambang juga bisa menghitung kerugian lingkungan, bukan cuma orang pertanian,” tutur Abrar.(mcr8/jpnn)


Redaktur : Budianto Hutahaean
Reporter : Kenny Kurnia Putra

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler