Ahli Hukum: Kejagung Harus Buktikan Kerugian Negara Rp 300 Triliun di Kasus Korupsi Timah

Jumat, 03 Januari 2025 – 19:10 WIB
Suasana sidang korupsi timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (18/12). Ilustrasi. Foto: Kenny Kurnia Putra/jpnn.com

jpnn.com, JAKARTA - Upaya Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk membuktikan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun dalam kasus korupsi terkait timah menimbulkan tanda tanya.

Ahli Hukum Pidana Profesor Romli Atmasasmita menilai klaim kerugian negara Rp 300 triliun itu menjadi beban berat yang belum mampu dipenuhi Kejagung hingga kini.

BACA JUGA: Divonis 8 Tahun Penjara, Eks Dirut PT Timah: Saya Tidak Punya Niat Buruk

Pasalnya, kerugian negara sebesar itu belum terbukti seluruhnya.

Prof Romli lantas menyebut upaya menyeret lima perusahaan sebagai tersangka merupakan salah satu langkah untuk mengejar kerugian keuangan negara yang belum tercukupi dari hukuman para terdakwa sebelumnya.

BACA JUGA: Elly Rebuin Nilai Pemerintah Gagal Lindungi Rakyat Babel, Minta Tambang Timah Disetop

"Kejagung sudah terlanjur mengumumkan kerugian Rp 300 triliun ke publik. Presiden pun sudah memberikan respons. Jadi, mereka harus menunjukkan hasil, meski angka itu tampaknya sulit terbukti," kata Romli, Jumat (3/1).

Menurut Romli, hukuman denda kepada korporasi harus ditentukan oleh majelis hakim berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020.

BACA JUGA: Tak Tega Helena Lim Divonis 5 Tahun Penjara, Sang Ibunda: Pulang, Sayang!

Namun, denda yang telah dijatuhkan kepada para direksi perusahaan yang telah terdakwa sebelumnya belum mencapai angka fantastis itu.

“Jaksa boleh saja hitung seenak jidatnya, semau-maunya dia, boleh, tetapi hakim sudah punya patokan. Patokan hakim dalam membuat penilaian tentang kerugian keuangan negara sesuai Perma 1/2020,” ungkapnya.

Kesalahan Data Ahli

Sementara itu, Ahli Manajemen Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Sudarsono Soedomo menyebut perhitungan Rp 300 triliun tersebut didasarkan pada data yang tidak valid.

"Angka Rp 300 triliun itu lebih menyerupai potensi kerugian, bukan kerugian riil. Namun, persepsi yang muncul di masyarakat seolah-olah itu uang nyata. Kejagung sendiri kini mulai meragukan angka tersebut setelah banyak pihak, termasuk Mahkamah Agung menyorotinya," beber Sudarsono.

Dia mengatakan Kejagung tidak memiliki kompetensi untuk mengevaluasi data yang terkait dengan kerugian lingkungan, salah satu komponen besar dalam kasus ini.

“Kejagung tidak mempunyai kompetensi dan kapasitas untuk melakukan itu, karena memang itu barang masih barang sulit lah, masih menjadi perdebatan. Menghitung kerugian lingkungan itu masih bahan perdebatan di antara para ahli,” paparnya.

Ego Kejagung dan Tekanan Publik

Adapun langkah Kejagung untuk menetapkan lima perusahaan sebagai tersangka juga dianggap sebagai bentuk 'paksaan' akibat tekanan publik.

Menurut Romli, selain dugaan korupsi, Kejagung turut menambahkan tuduhan tindak pidana pencucian uang (TPPU) untuk mengejar aset-aset perusahaan tersebut.

"TPPU itu kejam. Aset halal atau tidak halal semuanya bisa disita, tetapi persoalannya adalah pembuktiannya. Jika data awalnya sudah bermasalah, bagaimana mereka bisa membuktikan kerugian sebesar Rp 300 triliun?" tegas Romli.

Langkah Kejagung yang terkesan terburu-buru ini justru berpotensi menimbulkan disparitas hukum.

Romli mengingatkan Perma Nomor 1 Tahun 2020 dirancang untuk mencegah adanya perbedaan besar dalam putusan denda antarperusahaan.

"Jangan sampai ada yang didenda triliunan, sementara yang lain hanya ratusan juta. Itu akan menimbulkan masalah keadilan," tambahnya.

Baik Romli maupun Sudarsono sama-sama menekankan pentingnya profesionalitas dalam penanganan kasus ini.

Menurut Sudarsono, Kejagung sebaiknya fokus pada angka yang benar dan adil daripada mengejar angka besar yang sulit dibuktikan.

“Harusnya Kejagung mendengarkan ahli lain. Kalau orang itu bersalah hukumlah secara proporsional, enggak usah membesar-besarkan hukuman sehingga seolah-olah jadi pahlawan,” pungkasnya. (mar1/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler