jpnn.com - INI bukan sejarah Hari Pers Nasional yang merujuk lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ini kisah Hari Pers Indonesia yang mengusung lakon Tirto Adhi Soerjo, seorang wartawan legendaris.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Apa Benar Pak Harto Pernah Lari Meninggalkan Pertempuran?
Jumat, 7 Desember 2007. Sekelompok jurnalis dan penulis muda mendeklarasikan Hari Pers Indonesia di gedung Indonesia Menggugat, Bandung.
"Saya tidak semata-mata menyatakan hari ini sebagai Hari Pers Nasional," kata Taufik Rahzen, salah satu deklarator, "tapi sebagai Hari Pers Indonesia," tandasnya.
BACA JUGA: Ketika Pak Harto Ngelmu ke Mbah Dukun
Berikut cuplikan siaran pers yang diterbitkan deklarator pada hari itu…
Hari ini, 7 Desember 2007, tradisi pers Indonesia menapaktilasi perjuangan Tirto Adhi Soerjo selama seabad dan menarik kehadiran Medan Prijajji sebagai patok dimulainya sejarah pers kebangsaan.
BACA JUGA: Kemana Uang Satu Bil yang Ditelan Soeharto?
Dan sekaligus hari ini ditandai sebagai tonggak Hari Pers Indonesia, tepat di hari ketika Tirto wafat...
Siapa Tirto Adhi Soerjo?
Sabtu, 7 Desember 1918. Sebuah iring-iringan kecil, bahkan, "sangat kecil," tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Sang Pemula, "mengantarkan jenazahnya ke peristirahatan terakhir di Manggadua, Jakarta.
Tanpa pidato-pidato sambutan, orang-orang lantas berlalu setelah mengubur Tirto Adhi Soerjo.
Demi mendengar kepulangan Tirto, Mas Marco Kartodikromo terperanjat.
Jurnalis legendaris dan pengarang novel Student Hidjo itu lantas menulis nekrologi, dimuat halaman I koran Djawi Hiswara, edisi 13 Desember 1918.
"Pembaca jang terhormat jang baroe berkenalan dengan soerat kabar dalam 4-5 tahoen sadja, boleh djadi beloem tahoe terang keadaan beliau, siapakah Raden Mas Tirto ini?" demikian Marco membuka tulisannya.
Lalu, tokoh pendiri Inlandsch Journalisten Bond (IJB)--organ pelopor organisasi pers di Jawa--menjelaskan sedikit banyak sepak terjang Tirto.
"Boleh bilang toean T.A.S. indoek Journalist Boemipoetra di ini tanah Djawa, tadjam sekali beliau poenya penna," ungkap Marco,
T.A.S. adalah inisial Tirto di koran. Inisial yang cukup terkenal pada masanya.
Marco tak lain murid Tirto.
Diriwayatkan, Marco kecil sangat nakal dan lihai main pisau, apalagi pisau terbang.
Beranjak remaja, anak Cepu itu dititipkan ayahnya kepada T.A.S. pemimpin redaksi Medan Prijaji di Bandung.
Di tangan T.A.S., Marco yang tadinya tajam pisaunya, jadi tajam penanya.
Menelaah kalimat pembuka nekrologi Marco, mudah disimpulkan bahwa ketika berpulang, T.A.S. sudah terlupakan.
Dan memang begitu. "…sebuah kuburan di Manggadua, Batavia, yang sedikit pun tak berbeda dari kuburan-kuburan lain di sekitarnya, adalah tempat istirahat terakhir pekerja dan jurnalis ini…harian-harian pribumi tiada menyinggung lagi tentangnya," tulis J. Erkelens dalam Krant in Indonesie.
Lakon Pers
Apakah Tirto benar-benar terlupakan? Ini bukanlah ibarat air di daun keladi, kawan…
Jauh-jauh hari sebelum Taufik Rahzen dan kawan-kawan mendeklarasikan Hari Pers Indonesia pada 7 Desember 2007 di Bandung, Menteri Penerangan/Ketua Dewan Pers, Mashuri menetapkan Tirto sebagai "Perintis Pers Indonesia" melalui surat No. 69/XI/1973, tertanggal 31 Maret 1973.
Tahun itu juga makam Tirto, eyangnya penyanyi Dewi Yull, dipindahkan ke pemakaman keluarganya di Bogor, Jawa Barat.
Dan pada 2006, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Tirto Adhi Soerjo gelar Pahlawan Nasional. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pak Harto Anak Pak Karto (1)
Redaktur : Tim Redaksi