8 Parpol Tolak Sistem Proporsional Tertutup, Titi Perludem Merespons Begini

Selasa, 10 Januari 2023 – 00:12 WIB
Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto (tenga) bersama Ketua Umum DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono saat menggelar konsolidasi antarparpol yang menolaik penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Foto: Dok. Humas Partai Golkar

jpnn.com, JAKARTA - Delapan partai politik menggelar konsolidasi terkait pernyataan sikap menolak sistem proporsional tertutup dalam Pemilu 2024.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini merespons positif sikap dan konsolidasi parpol yang diinisiasi oleh Partai Golkar bersama Gerindra, Partai Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS.

BACA JUGA: Pemilu 2024 Berpeluang Gunakan Sistem Proporsional Tertutup? Begini Sikap KPU

Titi Anggraini menilai pertemuan delapan parpol tersebut sebagai contoh baik bagi pemilih menjelang Pemilu 2024.

“Itu pesan bagi publik juga ya, bahwa dinamika pemilu adalah dinamika yang sangat lentur. Oleh karena itu, masyarakat jangan sampai  mengalami polarisasi yang membelah persatuan dan kesatuan mereka. Ternyata di antara partai politik pun, meski mereka memiliki beragam pilihan tetapi mereka bisa ditemukan oleh persamaan-persamaan dalam proses pelaksanaan pemilu,” ujar Titi Anggraini pada Senin (9/1/2023).

BACA JUGA: Sistem Proporsional Tertutup Bisa Bikin Anak Muda Kecewa dan jadi Golput

Menurut Titi, di situ menjadi pembelajaran bagi rakyat bahwa dalam perbedaan sekalipun, tetap ada persamaan yang membuat dinamika politik di tengah perbedaan itu bisa tetap menemukan kesamaan.

“Bahwa dalam perbedaan sekalipun, tetap ada persamaan yang membuat dinamika politik di tengah perbedaan itu bisa tetap menemukan kesamaan. Kita juga begitu, meski pilihan politik berbeda dalam banyak dimensi, kita akan bisa menemukan kesamaan,” kata Titi.

BACA JUGA: Kata Pak JK Soal Sistem Proporsional Terbuka: Sudah Benar Itu

Dia menegaskan pemilu itu harus dihadapi dengan logika dan memiliki program.

“Justru pemilu itu harus dihadapi dengan logika, akal sehat dan bisa diwujudkan kalau kita berorientasi pada gagasan dan program,” ungkapnya.

Ternyata di antara pilihan politik yang berbeda diantara partai, mereka dipertemukan karena adanya gagasan yang sama soal pemilu proporsional terbuka.

Sebelumnya, Ketum Golkar Airlangga Hartarto mengatakan pihaknya duduk bersama untuk merembukkan soal sistem pemilu serta sekaligus pada awal tahun perlu bersilaturahmi antarpartai politik.

"Kami ingin di tahun 2023 di tahun politik ini teduh. Nah, keteduhan akan tercipta jika ada komunikasi antarpartai politik,” ujar Airlangga.

Menurut Airlangga, walaupun berbeda-berbeda prioritas dan agendanya, tetapi ada kesamaan. Nah, kesamaaan ini yang dicari terutama menghadapi pemilu 2024 nanti.

"Sistem pemilu proporsional terbuka merupakan perwujudan dari demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat, di mana rakyat dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik. Kami tidak ingin demokrasi mundur," kata Airlangga.

Jauh dari Rakyat

Analis politik Pangi Syarwi Chaniago mengungkapkan adanya kelemahan dan kelebihan dari sistem proporsional tertutup.

Adapun kelemahannya, pertama, sistem proporsional tertutup mengurangi interaksi dan intensitas kader partai dengan pemilih.

Calon legislatif (caleg) yang terpilih bakal jarang turun bersosialisasi, menyapa dan menyalami masyarakat secara langsung.

Sebab caleg yang terpilih bertanggung jawab langsung kepada partai bukan konstituen.

“Sumber kekuasaan bukan daulat 'rakyat', tetapi daulat 'elite' parpol,” terangnya.

Selain itu, sistem proporsional tertutup juga cenderung membuat caleg tidak mau bekerja keras untuk mengkampanyekan dirinya dan partai.

“Sebab mereka percaya yang bakal dipilih adalah caleg prioritas nomor urut satu, bukan basis suara terbanyak, itu artinya menurunkan persaingan antar kader internal caleg," tambahnya.

CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting itu menambahkan sistem proporsional tertutup cenderung kurang sesuai untuk partai baru dan partai kecil yang belum terlalu dikenal.

Sistem itu juga belum cocok untuk partai populis yang belum kuat dan belum tumbuh secara merata sistem kaderisasinya. Selain itu, akan membuat penguatan oligarki di internal partai politik dan memungkinkan adanya pengutamaan kelompok dan golongan tertentu.

"Proporsional tertutup dikhawatirkan seperti memilih kucing dalam karung, pemilih banyak enggak kenal dengan daftar list nama calegnya. Sebab pemilih tidak merasa dekat dengan pemilihnya," ungkapnya.

Koreksi

Kendati demikian, Pangi menilai munculnya keinginan kembali ke desain sistem pemilu proporsional tertutup merupakan koreksi dan kritik terhadap penyelenggaraan sistem proporsional terbuka.

Menurut Pangi, kompleksitas dan realitas sistem pemilu proporsional terbuka cenderung terkesan melemahkan partai politik.

"Sistem proportional terbuka kekuatan ada pada figur kandidat populis, melemahkan partai politik, tidak ada pembelajaran dan tidak menghormati proses kaderisasi di tubuh partai politik. Sementara proporsional tertutup menguatkan institusi kelembagaan partai politik," lanjutnya.

Menurut Pangi, ada beberapa alasan terkait sistem pemilu proporsional terbuka mampu merusak partai politik. Sistem itu bisa melemahkan partai politik ketika tidak ada caleg yang benar-benar kampanye mengunakan  visi dan misi yang telah disusun partai.

"Masing-masing caleg berkampanye dengan cara, tema dan narasinya sendiri-sendiri. Bagaimana berpikir untuk menang mengalahkan caleg sesama kader di internal partai, bukannya berkompetisi dengan partai lain," tegasnya.

Sistem proporsional terbuka juga cenderung menyebabkan pemilih memilih figur kandidat ketimbang tautan partai, serta lebih mengandalkan figur ketimbang menguatkan sistem kepartaian.

Sistem itu diduga menyebabkan salah satu alasan rendahnya party-ID. Hanya 13,2 persen pemilih yang merasa dekat baik secara ideologis maupun secara psikologis dengan partainya.

"Dugaan saya salah satu penyebab rendahnya party-ID karena penerapan sistem pemilu proporsional terbuka, sepanjang tetap memakai sistem proporsional terbuka, maka selama itu persentase party-ID di Indonesia tetap rendah," pungkas Pangi.(fri/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler