Read the story in English

Sejarah Australian Broadcasting Corporation (ABC) tak lepas dari perannya sebagai saksi hubungan Australia dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

BACA JUGA: Kabin Dipenuhi Asap, Penumpang Pesawat Qantas Dievakuasi di Bandara Sydney

Layanan ABC International bermula di tahun 1939 dengan menawarkan sebuah program radio, yang awalnya dirancang untuk melawan media-media propaganda dari negara lainnya saat Perang Dunia II.

Program siaran radio yang diberi nama 'Australia Calling' awalnya dimiliki Departmen Informasi Negara Persemakmuran, disampaikan dalam bahasa Perancis, Jerman, Spanyol, dan setelah tahun 1942 ditambah dengan layanan dalam bahasa Jepang, Thailand, Indonesia, dan Mandarin.

BACA JUGA: Kembali Jadi Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson Janji Teruskan Brexit

Baru setelah namanya diubah menjadi Radio Australia, pemerintah Australia memberikan pengelolaannya kepada ABC di tahun 1950. Photo: Penyiar Radio Australia di tahun 1960an: Natalie Lin (Formosa) sedang duduk dan dari kiri: Kimiko Orimoto (Jepang), Rudi Chakorn (Thailand), Marie Coleman (Formosa), Nitya Phangapa (Thailand), Elly Basar (Indonesia). (Foto: ABC News, Australia Calling)

 

BACA JUGA: Makin Sedikit Pria Mau Jadi Guru di Australia

Dalam sepuluh tahun pertamanya, Radio Australia terus mencoba memperluas jangkauan siarannya ke banyak negara, dengan menyajikan berita dan perspektif Australia, khususnya bagi warga Australia yang tinggal di luar negeri.

Tapi tak bertahan lama, Radio Australia mengalami pemangkasan anggaran yang dramatis, namun di tengah ketidakpastian masa depan layanan siaran internasional, cerita dan berita dari Australia terus disampaikan ke mancanegara.

"Sangatlah penting Australia memiliki suara di kawasan ini, karena banyak kesalahpahaman soal budaya yang sangat berbeda," ujar Prodita Sabarini, salah satu pengguna layanan ABC dan kini bekerja sebagai eksekutif editor The Conversation Indonesia.

"Tanpa suara itu, saya rasa kita tak akan mampu memahami tetangga kita." Memberikan suara pada Indonesia Photo: Radio Australia menerima surat setiap pekannya di ruangan yang khusus disediakan untuk surat menyurat dan memperkerjakan 10 orang (foto tahun 1969). (ABC News: Australia Calling)

 

Salah satu penyiar radio yang paling lama bekerja bersama Radio Australia siaran bahasa Indonesia (RASI) adalah Nuim Khaiyath.

Ia mengatakan keberadaan RASI adalah untuk "saling memperkenalkan" dua bangsa dengan tujuan untuk memberikan rasa "saling pengertian".

"Kita memberikan penjelasan kepada masyarakat Australia mengenai Indonesia dan dalam kasus tertentu mengenai Islam," kata Nuim.

"Kemudian kepada para pendengar di Indonesia, kita mencoba untuk memberikan penerangan, penjelasan mengenai keadaan yang sebenarnya di Australia."

Nuim merasakan menyiarkan berita-berita soal Indonesia dari Australia di saat pemerintahan Presiden Suharto berkuasa. Photo: Unjuk rasa di gedung parlemen Senayan pada Mei 1998 dengan tuntutan utama agar presiden Suharto mengundurkan diri dari jabatannya. (Foto: Kompas, Eddy Hasby)

 

Ia mengaku ada tantangan dan kekhawatiran sendiri saat memberitakan laporan yang tidak diinginkan pemerintah untuk didengar rakyatnya saat itu.

"Tapi dalam setiap pemberitaan kita menyiarkan tanpa rasa takut dan tanpa pilih kasih," tegas Nuim.

Ada banyak peristiwa bersejarah di Indonesia yang telah dilaporkan oleh RASI dan Nuim mengaku semua laporan hanya bermaksud menyampaikan fakta.

"Kita pokoknya hanya memberitakan, supaya pendengar bisa membandingkan apa yang sebenarnya terjadi dan agar mereka tidak dibohongi terus menerus." Melemahnya suara Australia di kawasan Photo: Iklan promosi Radio Australia dalam siaran Bahasa Perancis di tahun 1995. (Foto: Radio Australia)

 

Di tahun 1993, setelah Radio Australia mengudara selama 40 tahun, ABC melebarkan sayapnya dengan menyediakan siaran televisi.

Tapi kemudian dihentikan empat tahun kemudian, karena anggaran ABC dipangkas oleh pemerintah federal saat itu.

Biaya operasional Radio Australia menjadi hanya setengahnya dan menyebabkan layanan dalam bahasa Kanton, Thailand, dan Perancis pun ikut dikurangi.

Akibat lainnya, siaran dari gelombang pendek terpaksa ditutup di sejumlah kawasan Asia.

ABC tidak dapat lagi mengudara secara independen di China dan Indonesia, yang menyebabkan Radio Australia menggandeng mitra, yakni stasiun radio lokal, dengan harapan tidak akan disensor.

"[Pemerintahan PM Howard] ingin menutup Radio Australia dan TV Australia secara bersamaan," kata mantan menteri luar negeri Australia, Alexander Downer.

Salah satu alasannya saat itu adalah ABC sudah memiliki banyak uang dan pemerintah Australia seharusnya tidak membiayainya untuk aktivitas kegiatan di luar negeri.

"Saya berhasil memperjuangkannya, termasuk dalam rapat kabinet, menjelaskan kepada mereka bahwa ini adalah salah satu elemen dari upaya halus Australia, yang tentunya tidak semua setuju," tambahnya. Video: Video: Pengurangan anggaran ABC dilakukan sesaat sebelum kerusuhan Jakarta di 1998. (ABC News)

 

Situasi bergejolak di Indonesia yang berakhir dengan tumbangnya kekuasaan Suharto. Tak lama kerusuhan terjadi Timor Leste yang menewaskan banyak warga, hingga Australia harus ikut terlibat dengan menurunkan pasukan perdamaian.

Saat itu ratusan ribu warga di Indonesia masih setia mendengarkan siaran RASI, meski anggaran telah dipangkas.

"Saya rasa itu adalah keputusan yang buruk," kata Ita Buttrose, Chairwoman ABC.

"Ini mengurangi pengaruh dari apa yang kita lakukan. Radio Austaralia tak lagi memiliki suara yang sama seperti sebelumnya."

Pemerintahan Howard kemudian membalikkan keadaaan dengan dikembalikannya layanan internasional ABC TV di tahun 2001.

Tapi keadaan ini hanya bertahan satu dekade, sampai hingga akhirnya secara tiba-tiba dan tak terduga, pemerintahan Tony Abbott memutuskan hanya membiayai satu tahun untuk biaya operasional sepuluh tahun. Mau kemana layanan internasional ABC? Photo: Tim ABC Indonesia di Melbourne saat ini: (kiri ke kanan) Farid Ibrahim, Sastra Wijaya, dan Erwin Renaldi (Foto: Koleksi pribadi)

 

Suara Australia kini tak lagi bisa dinikmati lewat siaran radio dalam bahasa Indonesia, melainkan melalui layanan digital yang sebenarnya sudah terlalu ramai di Indonesia.

Erwin Renaldi dari ABC Indonesia mengatakan keberadaan layanan Indonesia masih diharapkan dapat menjembatani perbedaan budaya antara Indonesia dan Australia.

"Tak ada di dunia ini yang memiliki hubungan seperti Indonesia dan Australia, sangat dekat secara geografis, tapi dengan budaya yang jauh berbeda," katanya.

"Apa yang kita coba lakukan adalah menciptakan percakapan, khususnya di kalangan anak-anak muda lewat digital, untuk menjelaskan kesalahpahaman."

ABC juga kini mencoba menjangkau lebih banyak pengguna layanannya lewat digital lewat ABC iView, sebuah aplikasi yang menyiarkan program-programnya.

ABC News kini tersedia dalam Bahasa Indonesia, Mandarin, dan Tok Pisin. Photo: ABC Indoensia kini berada di bawah divisi Asia Pacific Newsroom dengan editor Steven Viney dan salah satu jurnalisnya, Christina Zhou. (Foto: ABC News, Natasha Johnson)

 

ABC masih menyiarkan program-program televisinya ke luar negeri lewat ABC Australia, meski semua ini dilakukan dengan anggaran yang ketat.

Jika dibandingkan dengan negara China, layanan internasional China Central Television (CCTV) memiliki anggaran senilai AU$ 3 miliar, atau lebih dari Rp 29 triliun.

Inggris memiliki BBC dengan anggaran AU$ 500 juta, kurang lebih Rp 4,8 triliun

Sementara biaya operasional ABC Internasional adalah AU$ 11 juta, atau kurang dari Rp 107 miliar, nilai yang sama dengan di tahun 1980-an.

"Saya masih optimis, dengan membicarakan masalah ini, maka Australia sebagai sebuah negara perlu memikirkan kembali mau dikemanakan ABC Internasional ini nantinya," ujar Ita.

"Saya rasa sebaiknya terus maju, harus memainkan perannya dengan baik dalam diplomasi halus."

Tonton dokumenter Australia Calling, Senin malam (16/12/2019) pukul 21:20 dan Jumat malam (20/12/2019) di televisi ABC Australia.

Read the story in English

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kerukunan Umat Beragama Papua Barat Tertinggi di Indonesia

Berita Terkait