jpnn.com, JAKARTA - Sembilan pemuka agama dan kepercayaan Indonesia berkumpul di Jakarta, guna mendorong penyelesaian masalah kemanusian yang terjadi di tanah air.
Itu dilakukan dengan mengutamakan pendekatan damai, seperti yang menjadi komitmen dalam Dokumen Abu Dhabi untuk Perdamaian Dunia yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Syaikh Ahmad Al Thayyib pada 2019 lalu.
BACA JUGA: Unika Atma Jaya Mengukuhkan 2 Guru Besar Bidang Ekonomi dan Psikologi
Acara tersebut berlangsung di kampus Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya Jakarta, Rabu (25/1) dalam bentuk seminar nasional dengan tema “Menghidupkan Dokumen Abu Dhabi dalam Persaudaraan Sejati untuk Dialog Karya dan Bekerjasama dalam Gerakan Mengatasi Masalah Kemanusiaan.”
Kegiatan tersebut juga menghasilkan Deklarasi Atma Jaya yang ditandatangani para pemuka agama dan kepercayaan yang diserahkan kepada Kementerian Agama selaku wakil pemerintah.
BACA JUGA: Unika Atma Jaya Terjunkan Tim Tanggap Darurat ke Lokasi Gempa Cianjur
Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo selaku ketua pembina Yayasan Atma Jaya mengatakan seminar ini merupakan realisasi dari dokumen Abu Dhabi yang mendorong keberadaan agama-agama di dunia untuk mampu mempersembahkan hal yang paling bermanfaat bagi eksistensi manusia, yaitu perdamaian.
“Kami semua berharap pertemuan di Atma Jaya ini adalah sebagai awal dari munculnya gerakan bersama untuk mewujudkan Dokumen Abu Dhabi," kata Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo.
BACA JUGA: Rektor Unika Atma Jaya Sebut Nilai dalam Pancasila Sudah Sangat Jelas
Gerakan ini membutuhkan kerja sama semuanya. Dia juga menjelaskan bahwa perdamaian membutuhkan dua pilar, yaitu pendidikan dan keadilan.
Nilai-nilai dalam Dokumen Abu Dhabi tersebut sejalan dengan nilai inti Yayasan Atma Jaya, yakni Kristiani, Unggul, Profesional dan Peduli (KUPP).
Keempat nilai ini menjadi landasan untuk mewujudkan komunitas yang kuat dalam bentuk persaudaraan sejati, untuk mampu bersikap plural, inklusif, adil, demokratis dan berbudaya karena Atma Jaya merupakan perwujudan Bangsa Indonesia yang terdiri dari latar belakang agama dan budaya yang berbeda.
“Kehadiran kesembilan tokoh lintas agama dan kepercayaan di Unika Atma Jaya pada hari ini sudah merupakan wujud nyata Dokumen Abu Dhabi, yakni persaudaraan sejati yang sangat disyukuri,” kata Ketua Konferensi Waligereja Indonesia, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC dalam penjelasannya membuka sesi dialog karya.
Dia menambahkan bahwa orang yang memiliki hati suci Allah akan membawa perdamaian. Sebab, Allah tidak bisa dikotak-kotakan oleh perbedaan manusia.
Perwakilan dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Pdt. Gomar Gultom, M.Th. mengatakan bahwa Dokumen Abu Dhabi ini merupakan undangan untuk makin menjadi pembawa damai sekaligus pengingat keras bagi semua untuk menjalankan nilai-nilai agama secara substantial serta mendorong rekoneksi untuk gerakan moral dan gerakan sosial kemanusiaan.
Sementara itu, perwakilan dari Nahdlatul Ulama (NU), KH. AH Abu Yazid Al-Busthami mengatakan, sebetulnya begitu banyak tragedi kemanusiaan di belahan dunia yang memerlukan bantuan, menngingat Islam merupakan agama kasih, yaitu Allah memberikan rahmat bukan hanya untuk umatNya, tetapi juga seluruh manusia.
Konsep dasar NU, perbedaan bukan dijadikan suatu hal yang dapat diperdebatkan. Yang sama jangan sampai dibedakan, yang beda jangan sampai disamakan.
"Kami memiliki tujuan sama yaitu menjaga perdamaian dunia, karena semua manusia itu berasal dari Bapak dan Ibu yang sama sehingga kami bersaudara dalam kemanusiaan,” kata KH. AH Abu Yazid Al-Busthami.
Perwakilan dari Muhammadiyah, Prof. Dr. Hj. Abdul Mu’ti, M.Ed mengatakan dokumen ini memberikan pelajaran bahwa agama itu berbeda secara ritual tapi memberi banyak kesamaan mengenai persoalan kemanusiaan.
“Satu hal penting: One Humanity, One Responsibility, untuk kemanusiaan konteksnya manusia sebagai mahluk Tuhan yang sangat mulia dan memiliki hak untuk mencapai kebahagiaan. Dokumen Abu Dhabi, bukan hanya etika tetapi etik,” kata Prof. Dr. Hj. Abdul Mu’ti, M.Ed.
Ketua Umum dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Budi Tanuwibowo, mengatakan bahwa agama yang sejati ialah agama yang mendekatkan kita pada kemanusiaan. Contohnya, agama Islam itu rahmat bagi semua manusia, kemudian Trikitakarana dari Hindu yang sama juga dengan aliran kepercayaan ialah semua mahluk berbahagia, agama Katolik ialah agama penuh kasih, agama Konghucu dan Buddha ialah semua mahluk hidup itu bersaudara.
Selain itu, perwakilan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, Mayjen (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, menjelaskan bahwa sebagai umat beragama harus menjaga secara utuh tata tentrem kerta raharja yang berujung pada semangat gotong royong.
“Daya tempurnya anak bangsa yang kuat fisiknya, badannya harus sehat, spiritual yang bagus, jiwanya harus bersih. Ayo bergandengan tangan saling berkontribusi, saling memberi, tidak saling menjatuhkan satu sama lain,” kata Mayjen (Purn) Wisnu Bawa Tenaya sambil menyerukan salam Pancasila dan Merdeka.
Perwakilan dari Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Prof. Dr. K. Philip Wijaya, mengatakan bahwa di dalam agama Buddha, Dokumen Abu Dhabi sudah diimpementlasikan dalam hal pendidikan, membangun umat yang lebih cerdas, atau dalam hal relasi bukan hanya antar agama tetapi juga inter agama Buddha sendiri.
“Dalam hal kepedulian di dunia yakni dengan mengerti perasaan dan penderitaan orang lain serta lingkungan hidup khususnya juga pangan, salah satunya dengan gerakan yang sudah dilakukan yaitu membersihkan piring sendiri dan tidak menyia-nyiakan makanan,” jelas Prof. Dr. K. Philip Wijaya.
Terakhir dari Ketua Presidium I DMP-Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), Ir. Engkus Ruswana, mengatakan bahwa untuk menerapkan Dokumen Abu Dhabi dengan kembali kepada karakter asli bangsa Indonesia yaitu karakter harmoni yang melahirkan kasih dan pikiran positif. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad