Dalam perjalanannya selama 94 tahun, Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia terus berupaya mengembalikan identitas Muslim yang moderat dan toleran, meski kadang menimbulkan kontroversi.
Salah satu organisasi perempuan di NU, Fatayat Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, menandatangani kerja sama dengan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, 23 Januari lalu.
BACA JUGA: Ogah Dikarantina, Sejumlah Warga Australia Menolak Dievakuasi dari Wuhan
Sebuah langkah yang belum tentu disetujui oleh Muslim lainnya dengan pemahaman LGBT sebagai hal terlarang dalam Islam.
Tapi, Fatayat NU DIY mengatakan kerja sama dalam bentuk mengirimkan guru agama perempuan, atau daiyah, kepada waria justru betujuan untuk "membimbing, meningkatkan keimanan, dan tidak melihat LGBT-nya".
BACA JUGA: Apa yang Terjadi Setelah WHO Nyatakan Virus Corona Sebagai Darurat Global?
"Kami melihat mereka ini adalah orang yang ingin belajar agama, terlepas dari orientasi seksual dan identitas gendernya, tetapi nggak ada yang mendampingi," kata Mustaghfiroh Rahayu, aktivis Fatayat DI Yogyakarta kepada ABC Indonesia Photo: Mustaghfiroh Rahayu adalah salah satu aktivis dan anggota Fatayat NU. (Koleksi pribadi)
BACA JUGA: Peternak Lobster di Australia Dirugikan Virus Corona
Fatayat, bersama Muslimat NU, adalah dua organisasi gerakan perempuan NU yang masih eksis sampai sekarang.
Dari dua organisasi ini kemudian muncul gerakan perempuan lainnya di NU, seperti Jamiah Pengasuh Pesantren Putri dan Mubalighah (JP3M) dan Asosiasi Pondok Pesantren Putri NU.
Salah satu perempuan yang dibesarkan oleh Fatayat NU adalah Ida Fauziyah.
Ia pernah dilantik menjadi anggota DPR termuda pada tahun 1999 kemudian di era Presiden Joko Widodo ia menjadi Menteri Tenaga Kerja. Berakar dan Mengakar di NU Photo: Ida Fauziyah, Menteri Tenaga Kerja yang juga menjabat sebagai ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU. (Foto: Kementerian Tenaga Kerja RI)
Ida dibesarkan dalam lingkungan NU dengan mengenyam pendidikan yang juga di lembaga NU.
Sebelum berkecimpung di dunia politik, ia pernah menjadi santriwati di pesantren NU dan aktif dengan organisasi pelajar NU, IPPNU.
Organisasi itulah yang mengantarkan Ida menjadi aktivis perempuan hingga ia menjadi ketua umum PP Fatayat NU.
"Fatayat NU ini jugalah yang mengantarkan dan membentuk saya menjadi politisi NU," kata Ida kepada Hellena Souisa dari ABC News di Melbourne.
Di luar sebagai politisi, Ida mengaku tradisi NU telah membentuk karakter pribadinya.
"[Tradisi yang] mengedepankan penghormatan terhadap kiai, sikap moderat dan dan teguh dalam memperjuangkan kemaslahatan umat menjadi pegangan saya. Dalam tradisi NU ada empat prinsip dasar, yaitu tawasuth (moderat), tawazun (simbang), i'tidal (adil) dan tasamuh (toleran)."
"Itu yang diajarkan kepada saya sejak kecil, sejak masih di Madrasah Diniyah dan pesantren dulu," kata Ida.
Tak cuma berakar, Ida juga mengakar di NU.
"Menjadi Menteri Tenaga Kerja ini kan jabatan politik. Tetapi saya sebagai Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU ini ya sebagai amal bhakti saya kepada NU. Jadi jangan heran ... kalau darah saya menetes warnanya hijau." Bukan lagi "konco wingking"
Sosok perempuan dari NU lainnya adalah Lily Chodidjah Wahid, adik kandung dari mantan presiden Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur.
Menurutnya, ada sebuah hasil yang cukup terlihat dan terasakan dari gerakan perempuan NU sehingga akhirnya hari ini perempuan dihargai sebagaimana seharusnya. Photo: Lily Wahid bersama dua kakaknya Salahudin Wahid, atau dikenal Gus Solah (tengah) dan Umar Wahid. (Foto: Koleksi pribadi)
Jika sebelumnya perempuan hanya dianggap 'konco wingking' atau teman di belakang, Lily mengatakan sekarang perempuan telah menjadi mitra dengan kesempatan yang setara.
"Sekarang sudah sangat maju, banyak sekali topik yang dibicarakan yang melampaui isu kesejahteraan sosial perempuan. Isu kekerasan dalam rumah tangga yang dulu nggak pernah ada tempatnya, sekarang lantang disuarakan," katanya.
"Nahdlatul Ulama dan organisasi perempuannya serta nilai-nilai yang diturunkannya, menurut saya telah berperan dalam mencetak perempuan yang punya kapasitas dan kapabilitas," kata Rahayu.
"Dengan sendirinya, sentimen anti-feminisme atau perempuan haram menjadi pemimpin menjadi tidak lagi relevan."
Meski demikian, akademisi FISIPOL Universitas Gadjah Mada, Luqman-nul Hakim, menilai sulit untuk melihat relevansi gerakan perempuan yang berafiliasi dengan ormas, termasuk NU.
"[Hal ini karena] umumnya dinamika mereka sangat tergantung pada posisi NU dengan pemerintah yang juga berubah-ubah, dan belum tampil sebagai gerakan yang memiliki agenda yang solid serta tujuan-tujuan jangka panjang," kata Luqman. Fatwa ulama perempuan
Tetapi kiprah perempuan NU juga tidak berhenti hanya di ranah elit politik.
Para aktivis perempuan yang berakar di Nahdlatul Ulama juga berperan besar menggelar Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada tahun 2017.
KUPI yang berlangsung di Cirebon dihadiri setidaknya 1.200 ulama dan cendekia perempuan dari Indonesia dan mancanegara, serta menelurkan tiga fatwa.
Fatwa tersebut adalah fatwa haram untuk kekerasan seksual, baik di dalam maupun di luar ikatan perkawinan, serta fatwa haram untuk perusakan alam atas nama apapun, termasuk atas nama pembangunan.
Selain kedua hal tadi, KUPI juga menyatakan fatwa wajib untuk mencegah pernikahan anak karena lebih banyak menimbulkan kerusakan ketimbang manfaat dan kebaikan. Photo: Dr Lukaman-nul Hakim adalah dosen di Fisipol UGM, yang juga pakar dalam kajian politik Islam dan pembangunan ekonomi. (Koleksi pribadi)
Fatwa ini diapresiasi Luqman karena dinilainya sejalan dengan gerakan perempuan di arus utama.
"Bahwa dampak fatwa ini inline dengan gerakan perempuan mainstream itu bagus, dalam arti mereka justru bisa berkolaborasi untuk agenda-agenda progresif lintas gerakan dan menjadi basis aliansi," lanjut Luqman.
Luqman juga melihat fatwa yang dihasilkan merupakan ekspresi dari pengalaman keseharian perempuan NU dalam konteks sosiologis masyarakat pedesaan.
Kontribusi di tataran akademis ini terus diimbangi dengan gerakan-gerakan di akar rumput melalui pengajian kaum ibu.
"Fatwa ini adalah awal yang baik dan menjawab tantangan zaman. Apalagi ditambah aktivitas pengajian dan penelaahan Al-quran NU yang berjalan terus," kata Rahayu. Perempuan meredam paham intoleran
Hal lain yang dilakukan perempuan NU adalah meredam paham-paham yang intoleran.
Peran ini pula yang sedang dijalani Fatayat DI Yogyakarta.
"Ini bagian dari empowering emak-emak. Saat kasus Ahok dan Sari Roti, misalnya, banyak broadcast message yang perlu disikapi dengan pemahaman yang benar oleh para Ibu."
"Ini salah satu concern kami di Fatayat, memberikan pemahaman untuk para Ibu, supaya mereka juga bisa memberi pemahaman bagi anak," kata Rahayu. Photo: Garda Fatayat adalah salah satu program dari Fatayat NU, salah satu gerakan perempuan NU. (Foto: Fatayat NU DIY)
Perhatian lain Fatayat adalah pengajian Ibu-ibu kelas menengah yang selama ini terabaikan dan akhirnya diisi oleh paham-paham intoleran.
Untuk mengatasi penyebaran paham intoleran tersebut, Fatayat DI Yogyakarta membentuk Garda Fatayat (Garfa).
Selain bertugas memberikan pemahaman pada masyarakat soal radikalisme melalui sejumlah workshop, Garfa juga dilatih tanggap bencana.
Lily Wahid juga menggarisbawahi tugas perempuan NU dalam menjaga toleransi antarwarga, salah satunya melalui majelis taklim untuk mengingatkan masyarakat akan kemajemukan Indonesia.
"Dulu toleransi itu bukan sesuatu yang dibicarakan karena sudah inheren dalam masyarakat kita, tidak seperti sekarang," kata Lily.
"Karena itu aktivis perempuan punya tugas untuk meredam dan mengembalikan situasi ke masyarakat Indonesia yang sesungguhnya, yang tidak pernah mempersoalkan perbedaan," pungkasnya. Diperlukan regenerasi perempuan NU di ranah politik
Sejarah telah mencatat bahwa dari sisi internal organisasi, tidak ada hambatan bagi pergerakan politik perempuan NU. Ini terlihat dari hasil Pemilihan Umum pertama tahun 1955.
Menduduki posisi ketiga setelah PNI dan Masyumi, NU berhasil merebut 45 kursi di parlemen, dan 5 di antaranya perempuan. Photo: Perempuan-perempuan di NU memiliki peranan penting dalam mengubah anggapan Muslim Indonesia yang konservatif. (Koleksi: Fatayat NU DIY)
"Jadi dari politik, nggak pernah ada hambatan untuk perempuan NU, dan ini memperlihatkan NU lebih maju dan sebenarnya lebih siap," kata Lily Wahid.
Sayangnya, anak kelima pasangan KH. Abdul Wahid Hasyim dan Nyai Hj Sholehah ini menilai, saat ini sulit mendorong para aktivis terjun ke dunia politik.
Kesulitan ini juga diakui oleh Rahayu.
"Sebagian besar aktivis masih menganggap politik itu kotor dan bukan ruang perjuangan yang menarik karena harus sikut-sikutan. Banyak perempuan merasa tidak nyaman, mereka menganggap ruang [politik] ini sangat maskulin," Rahayu menjelaskan.
Padahal, menurut Ida, meskipun tidak harus berujung pada politik praktis, penting untuk terlibat dalam politik.
"Karena politik adalah salah satu jalan untuk kemaslahatan. Seperti pesan Gus Dur, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan."
"Jadi sebaiknya para aktivis tidak menggarisbawahi politiknya, tapi bagaimana politik itu bisa membawa kemakmuran, kesejahteraan, kemaslahatan bagi masyarakat," kata Ida.
Gerakan perempuan NU juga dipandang Luqman berpotensi menjadi gerakan perempuan yang riil dengan basis sosial yang kuat.
"Salah satu kuncinya terletak pada leadership dan kerja politik yang konkret untuk mengadvokasi isu-isu di masyarakat melalui mekanisme demokrasi. Tidak seperti politisi perempuan 'terdidik-modern' yang tidak mengerjakan politik riil selain pencitraan," tutup Luqman.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Enam Warga Tiongkok dan Dua WNI Ditahan Setelah Coba Masuk Perairan Australia