jpnn.com - Singapura terkenal sebagai kota yang indah, bersih, dan salah satu yang paling nyaman untuk ditinggali di dunia.
Karena itu wajar kalau negara-kota itu disebut sebagai "the fine city" alias kota yang oke.
BACA JUGA: Singapura Akhirnya Memilih Hidup Berdampingan dengan COVID-19
Namun, fine dalam bahasa Inggris punya dua makna. Bisa diartikan oke atau baik, tetapi bisa juga diartikan sebagai denda.
Karena itu, "Singapore The Fine City" dipelesetkan menjadi "Singapura Kota Denda".
BACA JUGA: Prof Wiku Minta Setiap Orang Jujur, Kalau Terpapar COVID-19 Lapor kepada Pak RT
Beberapa waktu yang lalu ada anak-anak muda yang iseng bikin t-shirt bertuliskan "Singapore The Fine City", lalu di bawahnya ditulisi, "Littering fine SGD 100", "Gumming Fine SGD 200", "Spitting Fine SGD 150".
Artinya, buang sampah denda 100 dolar, buang permen karet denda 200 dolar, dan meludah denda 150 dolar.
BACA JUGA: Malaysia Kembali Sampaikan Kabar Buruk soal Tingkat Penularan COVID-19
Itu memang aturan-aturan ketat yang berlaku di Singapura.
Buang sampah sembarangan, buang sisa permen karet di sembarang tempat, meludah di sembarang tempat, pasti kena tilang justisi dan kena denda langsung di tempat.
Gaya otoritarian kecil itu merupakan cerminan gaya otoritarian yang lebih besar.
Singapura negara paling makmur di Asia Tenggara, tetapi dalam urusan politik Singapura paling otoriter, dan tidak memberi ruang yang cukup untuk demokrasi, terutama kalau diukur dengan standar Indonesia atau Thailand.
Namun, gaya otoritarian itulah yang membuat Singapura menjadi negara paling maju di Asia Tenggara. Gaya kepemimpinan itu diwariskan oleh Lee Kuan Yew yang meninggal 2015 silam.
Sejak memimpin Singapura pada 1959 Lee menerapkan politik otoriter yang tidak banyak memberi ruang kepada kebebasan politik individu.
Denda mendenda itu merupakan warisan Lee yang menerapkan aturan tangan besi untuk menertibkan warga Singapura. Sebelum maju seperti sekarang, warga Singapura yang mayoritas etnis China dikenal jorok dan tidak punya disiplin.
Di bawah kepemimpinan Lee dalam tiga puluh tahun Singapura disulap menjadi negara maju dan warganya punya disiplin tinggi.
Sepeninggal Lee, Singapura diwariskan kepada anaknya Lee Hsien Loong, yang menjadi perdana menteri sejak 2004 menggantikan Goh Chok Tong.
Banyak yang menganggap pewarisan ini sebagai nepotisme karena Lee senior memang secara sengaja mendesain anaknya untuk menjadi putra mahkota.
Namun, di bawah Lee Hsien Loong atau B.G Lee, Singapura terbukti tetap bisa melanjutkan pembangunan dan bersaing sebagai salah satu negara paling maju. Singapura tetap menjadi negara otoriter, tetapi ruang untuk oposisi sudah lumayan lebar.
Singapura di bawah B.G Lee masih tetap menjadi "the fine city" karena masih banyak denda yang diterapkan untuk warganya. Dalam hal penanganan pandemi Covid- 19 sekarang, Singapura bisa disebut sebagai negara yang paling sukses di Asia Tenggara.
Salah satu caranya, selain cepat melakukan vaksinasi, Singapura juga paling ketat menerapkan protokol kesehatan dan karantina bagi siapa pun yang masuk ke Singapura.
Dan, yang tidak kalah penting adalah senjata denda. Siapa pun yang melanggar, pasti langsung kena denda, dan bahkan banyak juga yang dipenjara kalau pelanggarannya serius.
Sekarang ini Singapura menjadi negara pertama di dunia yang secara resmi menerapkan kebijakan "New Normal" berdamai dengan Covid-19.
Perdana Menteri B.G Lee mengumumkan (29/6) bahwa Singapura sudah tidak lagi menerapkan lockdown untuk menekan laju penekanan penularan, tetapi justru menerapkan kebijakan damai dengan Covid-19.
Singapura memutuskan bahwa apa pun yang dilakukan, Covid-19 ini tidak akan bisa dihilangkan secara benar-benar tuntas.
Covid-19 akan tetap ada dan akan menjadi penyakit biasa semacam penyakit flu.
Karena itu, tidak perlu terlalu dikhawatirkan terlalu berlebihan, tetapi harus disiapkan langkah-langkah antisipasi yang teliti.
Ini tentu langkah terobosan yang sangat berani. Sebuah langkah inovasi sosial yang pertama di dunia, yang bisa melepas sebuah negara dari ketakutan yang berlebihan terhadap pandemi ini.
Di Indonesia pemerintah masih kebingungan oleh serbuan varian baru yang seolah tiap hari muncul tanpa tahu kapan berakhir.
Sekarang ini pemerintah Indonesia kebingungan oleh varian Delta yang sangat ganas penularannya, sampai membuat sistem pelayanan kesehatan ambruk di beberapa daerah.
Indonesia masih belum punya strategi yang tepat untuk mengatasi pandemi ini.
Sekarang pun pemerintah masih maju mundur dalam menerapkan karantina wilayah.
Banyak yang mendesak agar pemerintah menerapkan lockdown total, tetapi pemerintah masih keukeuh dengan kebijakan karantina wilayah terbatas.
Singapura sudah bebas dari perdebatan itu. Bahkan, jika dibanding dengan negara-negara yang penanganannya bagus di Asia, seperti Korea dan Jepang, Singapura bisa disebut lebih maju dengan mempelopori "new normal" ini.
Beberapa negara Eropa sudah mengumumkan bebas masker, seperti Spanyol. Namun, beberapa negara masih menerapkan lockdown terbatas.
Ada juga yang sudah membebaskan masyarakat berkumpul tanpa prokes seperti yang terjadi di Hungaria.
Namun, ada juga yang masih lockdown total seperti Australia.
Singapura mempertimbangkan betul antara kepentingan kesehatan dengan kepentingan ekonomi.
Singapura sadar bahwa kebijakan lockdown atau pembatasan akan menjadi kendala pertumbuhan ekonomi.
Sebagai negara kecil yang sama sekali tidak mempunyai sumber daya alam, Singapura menggantungkan kehidupan ekonominya terhadap sumber daya manusia.
Karena jumlah penduduknya hanya sekitar 3 juta maka Singapura mengandalkan tenaga kerja dari luar, baik yang skilled maupun yang unskilled.
Pergerakan manusia keluar masuk ke Singapura tentu saja akan menjadi penyebab penularan paling potensial.
Namun, Singapura berani mengambil terobosan besar. Tidak ada lagi pembatasan keluar masuk dan tidak ada lagi karantina.
Syaratnya, semua yang keluar masuk harus sudah melakukan vaksinasi, dan Singapura menyiapkan fasilitas kesehatan dengan sebaik-baiknya.
Vaksinasi akan dilakukan seratus persen dan protokol kesehatan akan tetap dilakukan dengan ketat. Dan, senjata andalan denda masih tetap dipakai. Siapa saja yang melanggar aturan pasti akan terkena denda.
Dengan new normal ini Singapura berharap akan menjadi "the new fine city". Kotanya akan makin oke, tetapi juga tetap akan menjadi "kota denda". (*)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur : Mufthia Ridwan
Reporter : Cak Abror