Abraham DPD RI Nilai BUMDes Belum Efektif Tingkatkan Ekonomi Desa

Sabtu, 15 Mei 2021 – 11:11 WIB
Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Abraham Liyanto. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) belum efektif meningkatkan perekonomian desa. Di berbagai daerah, BUMDes dikelola sekadar, asal jadi dan hanya menghabiskan dana desa.

“Ini menjadi catatan buat kita semua, terutama untuk Kementerian Desa dan PDTT, BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, red) Provinsi dan Kabupaten. Selaku pembina, mereka bertanggung jawab dalam kemajuan BUMDes di desa-desa,” kata anggota Komite I DPD RI dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Abraham Liyanto di Jakarta, Sabtu (15/5/2021).

BACA JUGA: Peningkatan Aktivitas BUMDes, Jumlah KPM BLT Dana Desa Menurun

Dia menyebut BUMDes mengacu pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 90 UU itu menyebutkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong perkembangan BUMDes dengan memberikan hibah dan akses permodalan.

Kemudian melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar dan memprioritaskan BUMDes dalam pengelolaan sumber daya alam di desa.

BACA JUGA: Sultan DPD RI Dorong RUU Daerah Kepulauan dan RUU BUMDes Segera Disahkan

Sementara dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendesa PDTT) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, dan Pengelolaan, dan pembubaran Badan Usaha Milik Desa disebutkan menteri bertugas menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria BUM Desa.

Gubernur melakukan sosialisasi, bimbingan teknis tentang standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan serta memfasilitasi akselerasi pengembangan modal dan pembinaan manajemen BUMDes di provinsi.

BACA JUGA: Abraham Liyanto: Sudah Waktunya NTT Diatur UU Tersendiri

Adapun bupati/wali kota melakukan pembinaan, pemantauan dan evaluasi terhadap pengembangan manajemen dan sumber daya manusia pengelola BUMDes.

Abraham mengaku telah berkeliling ke ratusan desa di NTT untuk melakukan pengawasan dana desa. Salah satu bidang yang ditanyakan adalah mengenai pengelolaan BUMDes.

Dari hasil pemantauan, rata-rata dana yang dikucurkan untuk BUMDes selama lima tahun terakhir antara Rp 200-400 juta. Namun, jenis kegiatan baru sebatas koperasi simpan pinjam, penyewaan kursi dan tenda, penyewaan traktor, pembukaan kios penjualan Sembilan Bahan Pokok (Sembako). Anehnya, hasil kegiatan yang dilakukan tidak jelas pelaporannya.

“Saat ditanya, rata-rata tidak ada pelaporan keuangan yang jelas. Apakah untung atau rugi, tidak ada laporannya. Ini yang harus menjadi perhatian agar tidak semata menghabiskan dana desa,” ujar Abraham yang juga Ketua Kadin Provinsi NTT ini.

Selain pengelolaan yang tidak profesional, persoalan yang sering muncul dalam pengelolaan BUMDes adalah seringnya ganti pengurus. Kondisi itu menyebabkan laporan keuangan antara pengurus lama dengan pengurus baru tidak nyambung atau tidak jelas.

“Pergantian pengurus sering terjadi karena ketidakcocokan dengan kepala desa,” tutur Abraham yang sudah tiga periode menjadi anggota DPD RI.

Sesuai arahan Menteri Desa, lanjut Abraham, BUMDes menjadi tulang punggung pembangunan desa di masa mendatang. Hal itu karena negara tidak mungkin terus meningkatkan jumlah kucuran dana desa karena kemampuan uang negara terbatas.

Oleh karena itu, untuk menambah penghasilan di desa-desa, diharapkan bisa didapatkan dari BUMDes. Namun jika melihat pengelolaan BUMDes yang tidak efektif, harapan BUMDes sebagai tulang punggung pemasukan kas desa tidak akan tercapai.

“Pemerintah pusat maupun daerah perlu memberikan pelatihan yang lebih banyak lagi ke pengelolaan BUMDes. Supaya jiwa entrepreneurship (wirausaha) bisa muncul. Jika dilepas begitu saja, tanpa pelatihan dan pembinaan, kehadiran BUMDes nanti hanya untuk habis-habiskan dana desa,” ujar Abraham.

Dia menyebut saat ini, Komite I DPD RI sedang membahas perubahan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam perubahaan itu, dirinya mengusulkan jenis usaha BUMDes perlu diperluas. Misalnya BUMDes bisa menyalurkan pupuk bersubsidi, pengecer BBM, penyalur beras dan berbagai kebutuhan dasar masyarakat desa.

Selama ini, monopoli penyaluran pupuk bagi petani dilakukan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Sementara BBM dimonopoli oleh Pertamina. Adapun beras dimonopoli oleh Depot Logistik (Dolog) Beras.

"Kami juga mengusulkan BUMDes dikelola pihak ketiga yang profesional. Atau menyertakan modal ke UKM yang sudah maju di daerah-daerah. Desa tinggal mendapatkan laba dari penyertaan modal tersebut,” tegas Abraham.

Dia optimistis jika dana desa dan BUMDes dikelola dengan baik, bisa mengurangi angka kemiskinan. Terutama untuk Provinsi NTT yang angka kemiskinannya menempati nomor tiga secara nasional.

Pasalnya, sumber daya alam (SDA) di NTT masih tersedia cukup banyak. Misalnya ada sektor pertanian, perikanan, peternakan yang belum dimanfaatkan optimal.

Kemudian ada lahan tidur atau destinasi pariwisata yang tidak digarap dengan baik. Lahan-lahan itu bisa digarap untuk menunjang pariwisata premium yang telah ditetapkan pemerintah. Tinggal pemerintah membangun infrastruktur telekomunikasi agar destinasi-destinasi unik yang ada di pelosok-pelosok bisa digunakan.

“BUMDes sebenarnya bisa sebagai kawah candradimuka dalam membangun perekonomian. Tinggal dikelola secara profesional agar bisa maju,” tutup Abraham.(jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler