Abraham Liyanto Usulkan Tunda Pilkada Serentak 2020, Begini Alasannya

Jumat, 12 Juni 2020 – 22:05 WIB
Anggota Komite I DPD RI dari Provinsi NTT, Abraham Paul Liyanto. Foto: Dok. DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komite I DPD RI Abraham Paul Liyanto mengatakan pelaksanaan Pilkada Serentak pada tanggal 9 Desember 2020 sangat berisiko karena dilaksanakan di tengah wabah virus corona atau Covid 19.

Menurut Abraham, risiko pertama adalah masyarakat makin banyak tertular virus tersebut karena tahapan Pilkada sudah akan dimulai tanggal 15 Juni, dan risiko kedua adalah minimnya partisipasi publik karena rakyat enggan ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

BACA JUGA: Ahmad Muzani Imbau Kader Gerindra Rapatkan Barisan Jelang Pilkada Serentak

Melihat kondisi tersebut, Abraham Liyanto meminta agar Pilkada ditunda hingga tahun 2021. Dia meminta agar tidak memaksakan Pilkada digelar di tengah pandemi karena bisa melahirkan kerugian lebih banyak terutama menyangkut jiwa manusia.

“Kenapa harus dipaksa sih? Ini kan pandemi. Kenapa enggak tunggu reda dulu. Ini menyangkut nyawa manusia loh,” kata Abraham di Jakarta, Jumat (12/6/2020).

BACA JUGA: Bawaslu: Anggaran Pengawasan Pilkada di Masa Pandemi Bertambah

Dia menjelaskan lebih baik dana Rp 10 trilun untuk Pilkada dialihkan untuk penanganan Covid 19.

Dana itu bisa membantu masyarakat miskin, membiayai yang sakit dan membeli Alat Pelindung Diri (APD) untuk petugas kesehatan.

BACA JUGA: Senator Abraham Liyanto Nilai Perppu Pilkada Ambigu

“Dana sebesar ini akan sangat bermanfaat bagi daerah apabila dapat digunakan untuk penanganan pandemi dan pemulihan dampak Covid-19 bagi masyarakat daerah,” ujar Abraham.

Abraham menegaskan Komite I DPD sudah menyatakan sikap menolak pelaksanaan Pilkada 9 Desember. Alasannya, Pilkada akan merusak makna dan kualitas demokrasi sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat karena tidak memperhatikan aspek sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat.

“Pandemi telah berdampak meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda. Kemudian meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana serta menimbulkan implikasi pada aspek sosial ekonomi yang luas di Indonesia. Maka dalam kondisi seperti ini, Pilkada hendaknya ditunda supaya tidak menimbulkan lebih banyak lagi korban jiwa,” kata Abraham yang merupakan anggota DPD RI dari Propinsi NTT ini.

Ketua Kadin Propinsi NTT ini juga menyebut dana Rp 10 trilun sebaiknya digunakan untuk membangun infrastruktur jaringan komunikasi. Hal itu bisa membantu pelaksanaan Pemilu atau Pilkada lewat sistem E-Rekap atau E-Voting. Kedua model itu bisa melahirkan Pemilu atau Pilkada yang lebih baik dan berkualitas.

“Dana Rp 10 triliun bisa digunakan untuk memperbaiki data jumlah penduduk atau Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang masih kacau. Atau membangun satelit ruang angkasa agar bisa perbaiki sistem dan data Pemilu atau Pilkada kita. Kelemahan besar bangsa selama ini adalah soal data. Dengan menggunakan digitalisasi, kelemahan itu bisa diatasi,” tutur Abarham yang sudah tiga periode menjadi anggota DPD RI ini.

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mengemukakan Pilkada 9 Desember 2020 bisa ditunda, tetapi dengan syaratnya jika terjadi lonjakan Covid-19 luar biasa yang sulit dikendalikan. Hal itu pun sudah dinyatakan dalam Perppu tentang Pilkada yang masih membuka peluang untuk ditunda.

"Kita ambil skenario optimistis 9 Desember tapi dalam Perpppu itu membuka peluang. Jika keadaan tidak memungkinkan, katakan kalau korban meningkat, kenaikan luar biasa, masih ada peluang untuk undur ke periode berikut," kata Tito di Jakarta, Kamis (11/6/2020).

Dia menyadari bahwa memang ada risiko dalam pelaksanaan Pilkada tanggal 9 Desember 2020 di tengah pandemi Covid-19. Risiko pertama adalah kesehatan masyarakat dari wabah Covid-19 dan risiko kedua adalah rendahnya partisipasi publik.

Namun dia mengajak masyarakat Indonesia untuk melihat pengalaman negara Korea Selatan (Korsel) yang berhasil melaksanakan Pemilu Legislatif (Pileg) di tengah pandemi Covid-19. Dia optimistis Indonesia bisa belajar dari Korsel untuk menyukseskan Pilkada 9 Desember.

"Kita sekarang sudah mulai memahami cara beradaptasi dengan Covid-19. Kita tunda dari September ke Desember, daripada mengangkat Plt (Pelaksana Tugas, Red) sampai 2020 karena belum ada vaksin. Kalau Plt lama akhirnya pemerintah tidak legitimate,” tutur Tito.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler