Ada Jurus Jitu untuk Bank Genjot Kredit

Kamis, 04 Februari 2021 – 21:56 WIB
Bank Rakyat Indonesia (BRI). Foto dok BRI

jpnn.com, JAKARTA - Analis pasar uang dari Bank Woori Bersaudara Rully Nova mengatakan, upaya meningkatkan penyaluran kredit perbankan tidak bisa dilakukan melalui formula penurunan suku bunga, dan penyediaan likuiditas bagi bank.

Terlebih, saat ini likuiditas sejumlah bank masih dalam taraf aman, dan suku bunga kredit secara beruntun turun sejak pandemi Covid-19 melanda.

BACA JUGA: Strategi BRI Menjaga UMKM agar Tetap Tumbuh

“Terkait pasar kredit yang belum membaik, masalahnya bukan di ekonomi. Jadi salah besar kalau dikasih obat suku bunga dan likuiditas. Masalahnya ada ketakutan di masyarakat karena pandemi belum bisa dikendalikan dengan baik oleh pemerintah. Ada pembatasan kegiatan masyarakat dan bisnis yang tidak growth, jadi pengusaha takut ngambil kredit, takut nggak bisa bayar,” ujar Rully.

Dia berpendapat, krisis yang terjadi saat ini berbeda dengan kesulitan-kesulitan terdahulu.

BACA JUGA: Perbankan Syariah Indonesia Diprediksi Bisa jadi Kelas Dunia

Pada krisis di tahun-tahun yang lalu, kesulitan terjadi akibat masalah ekonomi.

Karena itu, formula untuk menjaga dan menaikkan permintaan kredit bisa melalui suntikan likuiditas serta penerapan disiplin fiskal.

BACA JUGA: Inovatif, BRI Meraih Penghargaan Best of the Best Communications

Saat ini, kesulitan ekonomi terjadi akibat pandemi. Kondisi ini membuat pendekatan yang diambil untuk mengatasi krisis harus berbeda dibanding sebelumnya.

“Saya lihat pemerintah sudah habis-habisan mengeluarkan kebijakan untuk mendorong kredit, tapi memang masih ada ketakutan di masyarakat. Jadi resepnya ya memulihkan ketakutan di masyarakat, membuat masyarakat confident bahwa kita bisa melewati tantangan pandemi ini,” serunya.

Dihubungi terpisah, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menuturkan tren penurunan suku bunga kredit perbankan yang cenderung lambat dipengaruhi meningkatnya risiko kredit.

Hal ini karena adanya penurunan aktivitas ekonomi dari sisi permintaan dan penawaran.

Josua menilai tren penurunan suku bunga kredit perbankan akan terus berlanjut sepanjang 2021.

“Penurunan suku bunga kredit konsumsi cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kredit investasi dan modal kerja mempertimbangkan risk premium kredit konsumsi yang cenderung lebih tinggi daripada kredit modal kerja dan investasi, mempertimbangkan bahwa restrukturisasi kredit yang diimplementasikan oleh OJK lebih fokus pada restrukturisasi kredit produktif,” kata Josua.

Ke depannya, sambung Josua, suku bunga kredit modal kerja berpotensi turun lebih mempertimbangkan bahwa permintaan kredit modal kerja yang akan cenderung pulih lebih awal.

"Dengan catatan pemulihan ekonomi domestik berimplikasi pada meningkatnya permintaan kredit untuk modal kerja," sebutnya.

Pada awal Januari lalu, Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) mengungkap tren penurunan suku bunga pinjaman telah berlangsung sejak 2015 bersamaan dengan turunnya suku bunga acuan Bank Indonesia.

Namun. selama penurunan suku bunga kredit terjadi, permintaan kredit tidak mengalami kenaikan signifikan.

Berdasarkan hasil analisa Himbara, faktor yang paling elastis atau memengaruhi pertumbuhan kredit adalah tingkat konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat.

Selain dua variabel ini, faktor lain yang turut berkontribusi membuat naik/turunnya permintaan kredit adalah suku bunga, NPL, dan penjualan ritel.

Himbara juga mengungkapkan bahwa sudah tepat pemerintah mengeluarkan berbagai stimulus yang diterima masyarakat bawah, yang diberikan kepada pengusaha mikro dan kecil.

Karena dengan stimulus tersebut dapat menggerakkan perekonomian, khususnya mengungkit daya beli masyarakat dan konsumsi rumah tangga.

Penurunan bunga acuan sebenarnya juga telah diikuti dengan penurunan suku bunga perbankan. Salah satunya adalah BRI yang sepanjang 2020, telah menurunkan suku bunganya sebesar 75 bps – 150 bps.

Penurunan suku bunga tersebut merupakan salah satu bentuk dukungan dan penyelamatan yang dilakukan oleh BRI terhadap UMKM yang sedang bergelut dengan kondisi pandemi.

Penurunan suku bunga tersebut juga merupakan dampak dari efisiensi yang dilakukan bank, baik dari sisi mobilisasi dana pihak ketiga dan digitalisasi proses bisnis yang dilakukan BRI.

Salah satu bank yang dianggap berhasil mendorong pertumbuhan kreditnya adalah BRI.

Di mana penyaluran total kredit BRI telah mencapai Rp 938,37 triliun atau tumbuh 3,89 persen yoy sepanjang 2020.

Bahkan kredit mikro BRI mampu tumbuh double digit sebesar 14,18 persen.

Angka tersebut jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit nasional pada 2020 yang diperkirakan OJK berada dikisaran minus 1 hingga 2 persen.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Desember 2020 tingkat rata-rata suku bunga kredit (SBK) perbankan telah turun hingga single digit.

SBK Kredit Modal Kerja turun 88 bps menjadi 8,88 persen, lalu SBK Kredit Investasi turun 102 bps menjadi 9,21 persen, dan SBK Kredit Konsumsi turun 65 bps menjadi 10,97 persen.

Kemudian, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) seluruh segmen kredit telah berada pada level single digit, yaitu SBDK ritel 8,88 persen, SBDK korporasi 8,75 persen, SBDK KPR 8,36 persen, SBDK non KPR 8,69 persen, dan SBDK Mikro 7,33 persen.(ikl/jpnn)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler