jpnn.com - Arab Saudi dinilai berdosa besar kepada warga sipil di Yaman. Pasalnya, mereka selama ini menghalangi bantuan masuk ke negara yang tengah dilanda perang itu.
Efeknya dari tindakan Saudi itu sangat luar biasa. Bukan hanya kelaparan, melainkan juga kekurangan obat dan maraknya penyakit kolera.
BACA JUGA: Sepekan Kekerasan di Rakhine: 399 Tewas, 38 Ribu Mengungsi
Penilaian ini disampaikan lembaga kemanusiaan yang merasakan langsung bagaimana sulitnya menyalurkan bantuan untuk korban perang di Yaman.
Mereka menganggap Saudi sebagai dalang dari krisis yang terjadi.
BACA JUGA: PBB Tunggu Petunjuk Kiai untuk Putuskan Pendamping Yusril di Pilpres
”Arab Saudi harus mendanai 100 persen kebutuhan krisis kemanusiaan di Yaman,” tegas David Beasley, direktur eksekutif World Food Program (WFP), salah satu badan di PBB, kepada kantor berita Reuters pada Senin (4/9).
Beasley sudah begitu muak dengan tindakan Saudi di Yaman. Sebab, selama ini, sangat jarang ada petinggi PBB yang mengkritik salah satu pihak saja dalam sebuah konflik.
BACA JUGA: Nasib Pengungsi Rohingya: Diusir Bangladesh, Dibunuhi Penyakit
Tokoh yang pernah menjadi gubernur South Carolina, Amerika Serikat (AS), itu memberikan tiga pilihan pada Saudi.
Yakni, mengakhiri perang, mendanai krisis, atau melakukan dua-duanya.
Tentu, opsi terakhir menjadi pilihan banyak pihak. Sejak perang di Yaman mencuat pada 2015, 10 ribu orang tewas.
Kemarin (5/9) Badan Kesehatan (WHO) PBB merilis data bahwa sejak April, 612.703 orang terhitung terinfeksi kolera dan 2.048 orang lainnya tewas karena penyakit tersebut.
Sebanyak 7 juta orang juga terancam kelaparan serta kekurangan gizi.
Saudi menyatakan bahwa mereka telah memberikan bantuan ratusan juta dolar untuk program kemanusiaan di Yaman.
Bahkan, Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman mendonasikan USD 66 juta (Rp 879,9 miliar) pada Juni lalu kepada Badan Urusan Anak (Unicef) dan WHO PBB untuk memerangi wabah kolera di Yaman.
Bantuan itu mungkin tak ada gunanya. Sebab, menurut berbagai lembaga kemanusiaan, mereka dipersulit untuk memasuki Yaman. Imbasnya, semua bantuan tertahan.
Sejak di laut, kapal-kapal pengangkut bantuan itu dicegat kapal milik pasukan koalisi pimpinan Saudi.
Riyadh berdalih bahwa mereka menghalangi pengiriman senjata yang akan diselundupkan ke kantong-kantong pemberontak Houthi.
Hampir seluruh akses bantuan ke wilayah utara yang dikuasai pemberontak Houthi dipersulit.
Kapal pengangkut bantuan yang akan berlabuh di pelabuhan Al Hudaydah di Laut Merah diblokade.
Alat untuk mengerek kontainer di pelabuhan tersebut juga dirusak. Dua hal itu menyendat usaha pengiriman bantuan pangan.
Selama ini, 80 persen impor pangan di Yaman masuk melalui pelabuhan tersebut.
”Kami mengalami masalah di akses (untuk mengirim bantuan, Red),” tegas Beasley. Bukan hanya pelabuhan, akses beberapa bandara juga ditutup.
Orang-orang yang sakit parah sulit mendapatkan perawatan di luar negeri. Ada daftar tunggu yang begitu panjang.
Dokter-dokter yang menjadi relawan harus memutar otak sedemikian rupa untuk menyelamatkan pasien dengan obat-obatan yang terbatas.
Salah seorang tokoh yang menjadi korban adalah pendiri Palang Merah Yaman Abdullah Alkhames. Dia meninggal pada Kamis (31/8) setelah operasi jantung.
Alkhames seharusnya menjalani operasi lanjutan di Jordania atau Mesir, tapi masuk daftar tunggu.
Namun, karena penerbangan keluar masuk Yaman terbatas, nyawanya tak tertolong.
”Dia meninggal karena alasan yang sama seperti jutaan orang lainnya yang hidup menderita di Yaman,” ujar Juru Bicara International Committee of the Red Cross (ICRC) Timur Tengah Iolanda Jaquemet. (Reuters/RT/AlJazeera/sha/c16/any)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rudal Korut Akan Jadi Pembahasan di PBB
Redaktur & Reporter : Adil