jpnn.com, YANGON - Sepekan berlalu sejak Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang 30 pos polisi yang tersebar di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Serangan itu membuat militer Myanmar melancarkan operasi di kantong-kantong populasi etnis Rohingya.
Dengan dalih mencari anggota kelompok militan, tentara Myanmar membakar rumah dan membunuh orang Rohingya. Versi pemerintah, jumlah korban tewas nyaris menyentuh angka 400 orang. Plus, 38 ribu orang lainnya melarikan diri.
BACA JUGA: PBB Tunggu Petunjuk Kiai untuk Putuskan Pendamping Yusril di Pilpres
Tentu saja, jumlah tersebut hanyalah hitungan di atas kertas. Praktisi HAM yakin kenyataannya jauh di atas itu. Mereka menuding pemerintah Myanmar tengah melakukan genosida alias pembunuhan masal terhadap etnis tertentu.
Rohingya memang tidak pernah diterima di Myanmar. Mereka berkali-kali menjadi sasaran represi militer. Bahkan, UU Kewarganegaraan Myanmar yang disahkan pada 1982 dengan jelas tidak mengakui Rohingya.
BACA JUGA: Tak Ada Tempat Aman Bagi Etnis Rohingya
’’Militer menyuruh kami masuk rumah. Jika kami menurut, mereka akan membakar rumah kami, menembaki kami, atau membunuh kami. Orang muslim tidak memiliki hak apa pun,’’ ujar Nobin Shauna, salah satu etnis Rohingya yang lari ke Bangladesh.
Aksi serupa pernah mereka alami pada Oktober tahun lalu. Menurut pemerintah Myanmar, 102 korban tewas dan 70 ribu orang lainnya menyelamatkan diri ke negara lain terdekat, Bangladesh.
BACA JUGA: Rohingya Semakin Memilukan, Di Mana Aung San Suu Kyi?
Hingga Kamis (31/8), militer mengklaim telah menewaskan 370 anggota Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Lalu, ada dua pejabat pemerintah, 13 pasukan keamanan, dan 14 warga sipil yang menjadi korban.
Militer mengabaikan korban yang tewas karena menyeberangi derasnya arus Sungai Naf atau Teluk Benggala saat melarikan diri. Dalam tiga hari terakhir, 46 etnis Rohingya tewas ketika dua kapal yang mereka tumpangi terbalik di Sungai Naf.
’’Kami yakin mereka adalah etnis Rohingya,’’ kata Letkol S. M. Ariful Islam, komandan pasukan penjaga perbatasan Bangladesh, Jumat (1/9).
Yang memilukan, ada 19 anak dalam daftar korban tewas tersebut. Keselamatan mereka yang masuk Bangladesh pun tidak terjamin. Mereka harus bertahan di ruang terbuka karena pemerintah setempat tidak punya lahan lagi untuk menampung pengungsi. Pemerintah Bangladesh angkat tangan.
PBB dan berbagai lembaga kemanusiaan menyalahkan sikap pemerintah Myanmar atas kejadian di Rakhine saat ini. Mereka menegaskan bahwa kelompok ARSA muncul tahun lalu lantaran pemerintah sudah melanggar HAM secara terus-menerus dan sistematis selama beberapa dekade.
’’Cara pemerintah merespons serangan ARSA pada Oktober tahun lalu kian memupuk ekstremisme,’’ tutur Kepala Lembaga HAM PBB Zeid Ra’ad Al Hussein.
Kritikan kepada Aung San Suu Kyi juga terus bermunculan. Direktur Eksekutif Nexus Fund Sally Smith menganggap pernyataan peraih Nobel Perdamaian 1991 itu di media membuat situasi makin panas.
Suu Kyi menyebut mereka yang ditembaki militer sebagai teroris. Wanita yang kini menjabat penasihat negara Myanmar itu seakan membenarkan perlakuan militer terhadap etnis Rohingya.
’’Dia adalah peraih Nobel Perdamaian, tapi tampaknya yang terjadi saat ini dia hanya peduli dengan kedamaian penduduk Buddha, bukan Rohingya,’’ tegasnya. (Reuters/CNN/NYT/sha/c14/any)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nasib Pengungsi Rohingya: Diusir Bangladesh, Dibunuhi Penyakit
Redaktur & Reporter : Adil